Pages

Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 November 2011

TEORI HUKUM ISLAM DI INDONESIA


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu yang penting.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi
Toleransi dan kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.

PEMBAHASAN
Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari term Islamic Law dari literatur Barat. adapun defenisi dari hukum Islam itu sendiri setidaknya ada dua pendapat yang berbeda di kalangan ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, hukum Islam adalah “Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
Sementara Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa apabila kata hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Perbedaan kedua defenisi di atas sesungguhnya dapat dipahami bahwa perbedaan itu terletak pada cakupan yang dilingkupinya. Pendapat yang pertama membatasi pengertian hukum Islam kepada makna fiqh, sedangkan pengertian yang kedua membatasi pada makna Syari’ah atau hukum syara’
Menurut Ensiklopedia Hukum Islam, Hukum Islam adalah: “kaidah, asas prinsip atau aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik berupa al-Qur’an, Hadis Nabi saw, pendapat sahabat dan tabi’in, maupun pendapat yang berkembang disuatu masa dalam kehidupan umat Islam”
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah kalau ada yang mengatakan hukum Islam itu tidak bisa berubah dan tetap, maka yang dimaksudkan dengan kata hukum Islam adalah bermakna syari’ah. Demikian juga, jika dikatakan hukum Islam itu bisa berubah dan dapat dikonstektualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman, maka itu adalah hukum Islam yang bermakna fiqh, sebagai hasil ijitihad dan interpretasi manusia terhadap ajaran syari’ah yang kebenarannya bersifat relatif.
Dalam hal ini , haruslah jelas batasan-batasan antara hukum Islam, syari’ah, dan figh, sehingga tidak terjadi kesalahan dan kekacauan presepsi baik pada kalangan ulama dan lingkungan pendidikan maupun pada masyarakat awam. dengan demikian tidak terjadi kerancauan pemahaman dan pengamalan dalam beragama.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam, maka ada beberapa alasan yang menyebabkan hukum Islam tetap eksis, dan dipertahankan dalam belantara hukum di Indonesia:
1.      Alasan sejarah, hal ini dapat kita lihat pada perkembangan. Teori receptio in complexu;Teori receptie; Teori Teori receptio exit; Teori receptio a contrario; dan Teorieksistensi.
2.      Alasan penduduk, penduduk Indonesia sekitar 88 persen beragama Islam, haruslah menjadi bahan pertimbangan dan salah satu acuan bagi pembuatan hukum yang berlaku di Indonesia.
3.      Alasan yuridis, Hukum Islam di Indonesia berlaku
a.    secara normatif, dimana hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti pelaksanaan ibadah salat, puasa, zakat, dan haji. dan
b.    formal yuridis. Adalah bagian hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda dalam masyarakat. Dalam hal ini hukum Islam telah menjadi hukum positif berdasarkan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah.
4.      Alasan konstitusional.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kedudukan penting bagi agama. Hal ini membuka peluang bagi pengembangan hukum yang bersumber dari agama. terutama sila pertama Pancasila dan UUD 1945
5.      Alasan ilmiah.
Hukum Islam sebagai ilmu, sudah lama menjadi kajian ilmiah baik dari orang-orang Islam sendiri maupun dari orang-orang non muslim.
Dengan demikian di Indonesia khusus dalam bidang hukum terdapat rasa optimisme dikalangan pakar hukum, bahwa dimasa yang akan datang hukum Islam akan mendominasi hukum Nasiolnal. Baharuddin Lopa misalnya, menyatakan bahwa peradilan di Indonesia dimasa depan akan banyak berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
Pernyataan ini perlu segera kita kritisi lebih jauh, yakni dengan melihat secara obyektif keberadaan hukum Islam dewasa ini, dimana letak kekuatannya dan, sejauh mana peluang dan setelah itu prospek hukum Islam secara lebih akurat bisa digambarkan.

Perjalanan Hukum Islam Di Indonesia
Ada beberapa hal yang menjadi kekuatan hukum Islam antara lain:
a.       Karakter hukum Islam yang universal dan fleksibel serta memiliki dinamika yang sangat tinggi, karena ia memiliki dua dimensi, tsubut (konsistensi) dan tatawwur (transformasi) yang memungkunkan hukum Islam selalu relevan dengan perubahan spesial dan temporal yang selalu terjadi.
b.      Sebagai hukum yang bersumber pada agama, hukum Islam memiliki daya ikat yang kuat, tidak terbatas sebagai aturan yang berdimensi profanhumanistik, akan tetapi juga berdimensi trasdental
c.       Hukum Islam didukung oleh mayoritas pendudduk Indonesia yang beragama Islam
d.      Secara historis dan sosiologis hukum Islam telah mengakar dalam praktek kehidupan masyarakat.

Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam, kemudian lahir beberapa kebijakan yang mengarah kearah tersebut yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
b. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan
c. Diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk lebih jelas melihat bagaiana keberadaan hukumislam di Indonesia, berikut akan diuraikan tentang teroi-teori yag berkaitan dengan keberadaan dan peberlakuan hokum islam di Indonesia:
a.    Teori receptio In Complexu
Terori receptie in Copmlexu yaitu Bagi tiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Dikemukakan oleh Lodewijke Willwm Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) Menunjukkan bahwa setiap hukum yang bukan dari hukum Islam dapat diberlakukan apabila sesuai dengan hukum Islam. Seperti halnya dalam kaidah fikih disebutkan bahwa adat yang berulang-berulang dilakukakan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dijadikan sebagai hukum (al adat al muhkamat). Teori ini digunakan untuk mengukur seberapa besar norma-norma hukum ekonomi konvensiaonal dapat diredupsi sebagai norma hukum Islam.
b.    Teori Receptie,
Teori receptiei dikemukakan oleh Chritian Snouck Hoergronje sebagai bantahan atas teori receptie in Complexu. Hukum islam tidak otomatis berlaku bagi orang islam. Hukum islam berlaku bagi orang islam kalau ia sudah diterima atau telah menjadi      hukum adat mereka
 Menurut penganut teori recptie bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat. Di dalam hukum adat sedikit terdapat pengaruh hukum Islam, dan pengaruh hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalu sudah diterima oleh hukum adat dan dia lahirlah sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Teori ini bertolak dari teori positivis, digunakan untuk mengukur seberap besar animo masyararakat yang menggunakan sistem ekonomi syariah menyelesaikan sengketanya melalu jalur Pengadilan Agama.
Dua teori diatas berlaku sebelum indonesia merdek, dan tiga teori terakhir muncul setelah iindonesia merdeka
c.    Teori Receptie Exit
Pemahamanny adalah Pemberlakuan huku islam tidak harus didasarkn ato ada tergantungn pada hokum  adat.Penegasan UU No.1/1974 yg memberlakukn hk islam bg org islam
d.    Teori Receptio A Coontrario
Hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.
e.    Teori Eksistensi
Keberadan hukum islam dalam tata hukum nasional merupakn suatu kenyataan yang tidak dapat dibantahkn. Bahkan hukum islam merupakan bahan utama hukum nasional

Senin, 07 November 2011

SEJARAH DAN MACAM INTEGRASI KEILMUAN UMUM DAN ISLAM

Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi institusi pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern. Dikhotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.

Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.

Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan (baca: Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Departemen Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif "melimpah", sementara Departemen Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang "amat terbatas". Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.

Dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikhotomi keilmuan antara ilmu ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam. Kendati dikhotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau, namun dampaknya terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian. Salah satu kerangka keilmuan Islam yang kurang "lazim" bila dibandingkan dengan kerangka filsafat keilmuan "sekuler" adalah kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains, yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern. Kerangka keilmuan Islam justru dihinggapi romantisime yang menjadikan masa lalu justru sebagai kerangka utama walau bukan satu-satunya pola berpikir umat Islam. Romantisisme dalam arti yang sederhana memang diperlukan, terutama untuk menghindari terjadinya proses pencabutan pemikiran kontemporer dengan sejarah keilmuan masa lampau. Tetapi apabila romantisisme mendominasi kerangka berpikir keilmuan umat Islam, maka dinamika dan revolusi keilmuan Islam tidak akan pernah terwujud.

Implikasi lain dari dikhotomi keilmuan terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di kalangan umat Islam berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu. Di kalangan umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya. Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikhotomi keilmuan Islam telah begitu besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan Islam, yang mencoba membangun suatu keterpaduan kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikhotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.

BAB II SEJARAH DAN MACAM INTEGRASI KEILMUAN

  1. Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)

Model yang dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) muncul pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang penting dalam kegiatan integrasi keilmuan Islam di Malaysia karena untuk pertama kalinya, para ilmuwan Muslim di Malaysia bergabung untuk menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran Kitab suci al-Qur’an. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model ASASI ini berpandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip Islam. Model ASASI ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kegiatan penelitian ilmiah; menggalakkan kajian keilmuan di kalangan masyarakat; dan menjadikan Alquran sebagai sumber inspirasi dan petunjuk serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa Alquran, kepada kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat Islam dalam bidang sains dan teknologi.

  1. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf

Pemikir yang terkenal sebagai penggagas integrasi keilmuan Islam yang dianggap bertitik tolak dari tasawwuf ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang kemudian ia istilahkan dengan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Gagasan ini pertama kali muncul pada saat konferendi Makkah, di mana pada saat itu, Al-Attas mengimbau dan menjelaskan gagasan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan". Identifikasinya yang meyakinkan dan sistematis mengenai krisis epistemologi umat Islam sekaligus formulasi jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini yang secara filosofis berkaitan, benar-benar merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern. Formulasi awal dan sistematis ini merupakan bagian integral dan konsepsinya mengenai pendidikan dan universitas Islam serta kandungan dan metode umumnya. Karena kebaruan ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas kerjanya di Makkah, tema-tema gagasan ini diulas kembali dan dijelaskan panjang lebar pada Konferensi Dunia yang Kedua mengenai Pendidikan Umat Islam pada 1980 di Islamabad. Dalam karya-karyanya, dia mencoba menghubungkan deislamisasi dengan westernisasi, meskipun tidak secara keseluruhan. Dari situ, dia kemudian menghubungkan program Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini dengan dewesternisasi. Predikat ilmu masa kini" sengaja digunakan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan. Gagasan awal dan saran-saran yang konkret ini, tak pelak lagi, mengundang berbagai reaksi dan salah satunya dari almarhum Isma'il Al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya.

  1. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh

Model ini digagas oleh Al-marhum Ismail Raji al-Faruqi. Pada tahun 1982 ia menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, Washinton. Menjadikan Al-Faruqi sebagai penggagas model integrasi keilmuan berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih karena ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam Al-Faruqi tidak berakar pada tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan oleh Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain, melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqh dalam menjadikan Alquran dan Assunnah sebagai puncak kebenaran. Kaidah fiqh ialah kaedah penentuan hukum fiqh dalam ibadah yang dirumuskan oleh para ahli fiqh Islam melalui deduksi Alquran dan keseluruhan korpus al-Hadith. Pendekatan ini sama sekali tidak menggunakan warisan sains Islam yang dipelopori oleh Ibn Sina, al-Biruni dan sebagainya. Bagi al-Faruqi, “sains Islam” seperti itu tidak Islami karena tidak bersumber dari teks Alquran dan Hadis.

  1. Model IFIAS

Model integrasi keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes of Advance Study) muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang "Knowledge and Values", yang diselenggarakan di Stickholm pada September 1984. Model yang dihasilkan dalam seminar itu dirumuskan dalam gambar sekama berikut ini:

Gambar 1: Model Integrasi Keilmuan IFIAS

Sumber: Ibid, hal. 71

Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut:

Iman kepada Sang Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains. Keduanya tunduk pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa sebagai ilmuwan yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan, maka ia harus menunaikan fungsi sosial sains untuk melayani masyarakat, dan dalam waktu yang bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan moralnya. Dengan demikian, pendekatan Islam pada sains dibangun di atas landasan moral dan etika yang absolut dengan sebuah bangunan yang dinamis berdiri di atasnya. Akal dan objektivitas dianjurkan dalam rangka menggali ilmu pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam batas-batas etika dan nilai-nilai Islam.

Anjuran nilai-nilai Islam abadi seperti khilafala, ibadah, dan adl adalah aspek subjektif sains Islam. Emosi, penyimpangan, dan prasangka manusia harus disingkirkan menuju jalan tujuan mulia tersebut melalui penelitian ilmiah. Objektivitas lembaga sains itu berperan melalui metode dan prosedur penelitian yang dimanfaatkan guna mendorong formulasi bebas, pengujian dan analisis hipotesis, modifikasi, dan pengujian kembali teori-teori itu jika mungkin.

Karena sains menggambarkan dan rnenjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas, ia dipergunakan untuk mengingatkan kita akan keterbatasan dan kelemahan kapasitas manusia. Alquran juga mengingatkan kita agar sadar pada keterbatasan kita sebelum terpesona oleh keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah.

  1. Model Islamic Worldview

Model ini berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam (Islamic worldview) merupakan dasar bagi epistemoligi keilmuan Islam secara menyeluruh dan integral. Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan model ini adalah Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada Fatih University, Istanbul Turki. Ia mengembangkan empat pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman sebagai dasar struktur dunia (world structure, îmân); (2) ilmu sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human structure, khalîfah).

  1. Model Struktur Pengetahuan Islam

Model Struktur Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai tulisan Osman Bakar, Professor of Philosophy of Science pada University of Malaya. Dalam mengembangkan model ini, Osman Bakar berangkat dari kenyataan bahwa ilmu secara sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai disiplin akademik. Bagi Osman Bakar, membangun SPI sebagai bagian dari upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama, hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui kenyataan bahwa pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dan dibagi ke dalam sejumlah disiplin akademik.

  1. Model Bucaillisme

Model ini menggunakan nama salah seorang ahli medis Perancis, Maurice.Bucaille, yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu buku yang berjudul "La Bible, le Coran et la Science”, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Model ini bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Alquran. Model ini banyak mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Alquran sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Alquran juga bisa berubah. Model ini di kalangan ilmuwan Muslim Malaysia biasa disebut dengan "Model Remeh" karena sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan penemuan dan teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan abadi Alquran. Penemuan dan teori sains Barat berubah-ubah mengikut perubahan paradigma, contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian berubah menjadi paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat kritik tajam karena, apabila Ayat Alquran dinyatakan sebagai bukti kebenaran suatu teori dan teori tersebut mengalami perubahan, maka kewibawaan Alquran akan rusak karena membuktikan teori yang salah mengikuti paradigma baru ini.

  1. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik

Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali warisan filsafat Islam klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam gagasan model ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr pemikir Muslim klasik berusaha memasukkan Tawhîd ke dalam skema teori mereka. Prinsip Tawhîd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip kesatuan alam tabi'i (thabî’ah). Para pendukung model ini juga yakin bahwa alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenar-benarnya, dan alam tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed Hossein Nasr, ilmuwan Islam moden hendaklah mengimbangi dua pandangan tanzîh dan tasybîh untuk mencapai tujuan integrasi keilmuan ke-Islaman.

  1. Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)

Pendekatan Ijmali dipelopori oleh Ziauddin Sardar yang memimpin sebuah kelompok yang dinamainya Kumpulan Ijmali (Ijmali Group). Menurut Ziauddin Sardar tujuan sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim berdasarkan etos Islam yang digali dari Alquran. Sardar yakin bahwa sains adalah sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam suasana pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep paradigma ilmu Thomas Kuhn. Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan zulm sebagai kriterium untuk menentukan bidang sains yang perlu dikaji dan dilaksanakan. Walaupun Sardar yakin dengan pendekatan Kuhn yang bukan hanya merujuk kepada sistem nilai saja, tetapi kebenaran sains itu sendiri, namun ia tidak langsung membicarakan kebenaran teori sains Barat itu sendiri. Pandangan Sardar ini seakan-akan menerima semua penemuan sains Barat modern dan hanya prihatin terhadap sistem nilai atau etos yang mendasari sains tersebut. Dengan menggunakan beberapa istilah dari Alquran seperti Tawhîd, ‘ibadah, khilafah, halal, haram, taqwa, ‘ilm dan istislah. Hampir senada dengan al-Faruqi, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Sardar tidak merujuk pada tradisi sains Islam klasik. Bagi Sardar sains adalah "is a basic problem-solving tool of any civilization" (perangkat pemecahan masalah utama setiap peradaban).

  1. Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)

Model ini dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok Aligargh University, India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains Islam berkembang dalam suasana ‘ilm dan tasykir untuk menghasilkan gabungan ilmu dan etika. Pendek kata, sains Islam adalah sekaligus sains dan etika. Zaki Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu dan taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan konsep paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makroparadigma mutlak, mikroparadigma mutlak, dan paradigma bayangan.

BAB III PENUTUP

Hasil survey terhadap literatur kontemporer ditemukan bahwa gagasan para pemikir Muslim kontemporer tentang upaya untuk memadukan ilmu-ilmu ke-Islam-an dengan ilmu-ilmu "umum" dapat dikelompokkan ke dalam 10 model integrasi ilmu seperti yang telah dituliskan di atas.

Kendati begitu banyak model integrasi ilmu ke-Islam-an yang ditawarkan oleh para pemikir Muslim kontemporer, upaya membangun landasan pengembangan keilmuan Islam mesti berangkat dari pandangan dasar Islam tentang ilmu serta berbagai tantangan nyata yang dihadapi oleh umat Islam.

Sumber :

Thoyyar, Huzni. Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer

Nordin, Sulaiman. (2000) Sains menurut Perspektif Islam. Dwi Rama.