Pages

Senin, 07 November 2011

ORBIT BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

I.1. SISTEM TATASURYA

Alam semesta ini tersusun dari galaksi-galaksi yang jumlahnya tidak kurang dari satu juta billion (milyar). Galaksi tempat kita berada dinamai Milk Way yang beranggautakan tidak kurang dari 200 billion bintang. Salah satu bintang tersebut ialah matahari kita yang merupakan pusat sistem tatasurya dan beranggautakan sembilan planet yaitu Mercury, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturn, Uranus, Neptune, dan Pluto (lihat Gambar I.1).

Gambar I.1. Sistem tatasurya

(sumber: www.maps.com)


Planet-planet Mercury, Venus, Neptune, dan Pluto tidak memiliki satelit sementara palnet-planet yang memiliki satelit ialah bumi (satu satelit dinamai bulan atau moon), Mars (dua satelit), Jupiter (16 satelit), Saturn (18 satelit), dan Uranus (15 satelit). Selain planet dan satelit, di dalam tatasurya kita terdapat benda-benda langit yang disebut comet, asteroid, dan meteor.

I.2. ORBIT BUMI DAN BULAN

Dalam aspek fisiknya, matahari merupakan benda langit berbentuk bola dengan diameter 1.390.000 km dan massa 1,989x1030 kg. Bumi berbentuk mendekati bola dengan diameter 12.756,3 km dan massa 5,976x1024 kg. Jarak bumi ke matahari ialah 149.600.000 km (= 1 AU). Sementara itu fisik bulan juga berbentuk bola dengan diameter 3476 km dan massa 7,35x1022 kg. Jarak rerata orbit bulan ke bumi ialah sekitar 384.400 km.

Di dalam galaksi Milk Way, bintang-bintang (termasuk matahari kita beserta anggauta keluarganya) bergerak mengorbit pusat galaksi. Jarak matahari kita ke pusat galaksi Milk Way kira-kira 28.000 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun). Sementara itu di dalam sistem tatasurya kita, planet-planet bergerak mengorbit matahari dan bersamaan dengan itu satelit-satelit bergerak mengorbit planet induknya masing-masing.

Gambar I.2. Orbit bumi


Gambar I.3. Orbit bumi dan bulan


Teori ilmiah yang menjelaskan gerak orbit planet dan satelit ialah hukum Kepler yang mengatakan bahwa planet bergerak mengelilingi matahari dalam lintasan yang berbentuk elips dengan matahari berada pada salah satu titik apinya. Demikian pula satelit (bulan) bergerak mengelilingi planet (bumi) dalam lintasan yang berbentuk elips dengan bumi berada pada salah satu titik apinya. Hukum Kepler juga mengatakan bahwa garis hubung planet-matahari untuk selang waktu yang sama menyapu bidang elips dengan luasan yang sama. Kedua hukum Kepler tersebut mengimplikasikan bahwa planet bergerak mengorbit matahari dengan kecepatan yang bervariasi atau tidak ajeg. Demikian pula bulan bergerak mengorbit bumi dengan kecepatan yang bervariasi. Pada saat bulan makin dekat ke bumi, laju orbitnya makin cepat.

Bumi berotasi pada sumbunya (Kutub Utara – Kutub Selatan) dengan kecepatan 1069 kilometer per jam pada ekuator dan menyelesaikan satu periode putaran dalam waktu 24 jam atau satu hari (keliling bumi sepanjang ekuator ialah sekitar 40.000 kilometer). Sambil berotasi, bumi berevolusi (begerak mengorbit matahari) dengan kecepatan rerata 107.200 kilometer per jam dan menyelesaikan satu periode putaran dalam waktu 365,25636 hari. Sementara itu bulan berevolusi (bergerak mengorbit bumi) dengan periode 27,32 hari (Gambar I.3). Rotasi bumi terhadap sumbunya mengakibatkan fenomena pergantian siang dan malam di bumi. Dalam hal ini penduduk bumi memperoleh kesan seolah-olah matahari, bulan, dan bintang bergerak (ke arah Barat) mengelilingi bumi. Gerak benda-benda langit ini sering disebut orbit semu harian periode 24 jam. Sementara itu kedudukan sumbu rotasi bumi miring sekitar 66,5 derajat terhadap bidang ekliptik yang merupakan bidang orbit bumi mengelilingi matahari. Kombinasi efek kemiringan sumbu rotasi bumi dan orbit bumi mengelilingi matahari menghasilkan variasi kedudukan matahari sepanjang tahun sehingga terjadi pergantian musim di bumi secara periodik. Karena revolusi bumi ini, penduduk di bumi memperoleh kesan seolah-olah matahari bergeser perlahan-lahan (ke arah Timur) sepanjang tahun dari rasi bintang (zodiak) yang satu ke rasi bintang yang lain sepanjang lintasan tertentu yang disebut Ekliptik (Gambar I.2). Gerak semu matahari tahunan ini sering disebut orbit semu tahunan.

Gambar I.4. Fase bulan


Akibat dari fenomena orbit bulan mengelilingi bumi dan kombinasinya dengan orbit bumi mengeliling matahari, penduduk di bumi dapat menyaksikan berbagai fenomena seperti fase-fase bulan (bulan mati, bulan sabit, bulan purnama), variasi kedudukan bulan, gerhana, dan pasang-surut laut. Fenomena yang disebut konyungsi atau ijtimak terjadi pada saat matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis atau satu bidang yang tegak lurus bidang ekliptik (bulan berada diantara matahari dan bumi). Kejadian ini berlangsung saat fase bulan mati. Sementara itu oposisi terjadi saat bulan berada pada posisi yang berseberangan denga matahari (bumi berada di antara matahari dan bulan). Kejadian ini berlangsung pada fase bulan purnama (Gambar I.4).

Gambar I.5. Konyungsi


Gambar I.6. Gerhana bulan


Periode orbit bulan mengelilingi bumi satu putaran penuh (360 derajat) adalah 27,32 hari. Namun, karena bumi juga bergerak mengorbit matahari pada arah yang sama, maka untuk mencapai kedudukan konyungsi diperlukan tambahan waktu (Gambar I.5). Dalam hal ini, selang waktu dari satu konyungsi ke konyungsi berikutnya berkisar antara 29,28 sampai 29,83 hari, dan reratanya ialah 29,53 hari.

Dalam Gambar I.4 dan I.6 tersaji dua titik nodal yang masing-masing diberi notasi N1 dan N2. Garis yang menghubungkan N1 dengan N2 adalah perpotongan antara bidang orbit semu matahari (bidang ekliptik) dengan bidang orbit bulan. Kedua bidang orbit tersebut membentuk sudut sekitar 5 derajat. Karena fenomena presesi dan nutasi, titik N1 dan N2 mengalami gerak periode 18,6 tahunan. Apabila konyungsi terjadi pada saat bulan berada di sekitar titik nodal maka kemungkinan akan terjadi gerhana matahari. Sebaliknya, apabila oposisi terjadi pada saat bulan berada di sekitar titik nodal maka kemungkinan akan terjadi gerhana bulan.

Diantara fenomena yang telah diuraikan di atas, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah umat Islam ialah fenomena variasi kedudukan matahari untuk waktu shalat dan fenomena variasi kedudukan serta visibilitas hilal (bulan) untuk ibadah puasa ramadhan dan hajji. Dalam makalah atau modul ini selanjutnya akan disajikan konsep dasar model astronomik yang dikembangkan untuk merekonstruksi kedudukan benda-benda langit (matahari dan bulan) relatif terhadap pengamat di bumi yang meliputi sistem koordinat dan segitiga (bola) astronomik.

SOAL-SOAL LATIHAN

1. Apakah nama galaksi tempat tatasurya kita berada, dan berapakah perkiraan jumlah bintang anggauta galaksi tersebut ?

2. Sebutkan planet-planet anggauta tatasurya kita dan planet-planet mana yang memiliki satelit dan berapa jumlahnya ?

3. Berapakah jarak matahari kita ke pusat galaksi, jarak rerata bumi ke matahari, dan jarak rerata bulan ke matahari ?

4. Bagaimana bunyi hukum Kepler, dan jelaskan maksud serta implikasinya terhadap kecepatan orbit bumi dan bulan !

5. Apakah yang dimaksud dengan orbit semu harian benda-benda langit dan orbit semu tahunan matahari ?

6. Fenomena apa yang terjadi di bumi sebagai akibat dari kemiringan sumbu rotasi bumi 66,5 derajat terhadap bidang orbitnya (bidang ekliptik) ?

7. Sebutkan empat fase bulan dalam periode ijtimak ke ijtimak !

8. Mengapa periode konyungsi bumi-bulan-matahari memerlukan waktu lebih lama daripada waktu yang diperlukan bulan untuk mengelilingi bumi 360 derajat ?

9. Kondisi apa yang diperlukan agar terjadi fenomena gerhana ?

BAB II

SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIK

II.1. BUMI

Kita tinggal di planet Bumi (Inggris: the Earth, Arab: al-Ardh) di dalam suatu sistem tatasurya yang berpusat di matahari. Bentuk bumi sebenarnya mendekati bentuk geometri elipsoid, namun untuk maksud kemudahan dalam perhitungan-perhitungan sering kemudian diambil pendekatan bentuk bola (globe) sebagai model geometrik bumi. Jari-jari lingkar ekuator bumi ialah sekitar 6.378 kilometer, sehingga keliling bumi sepanjang ekuator ialah sekitar 40.074 kilometer. (untuk mudahnya, sering disebutkan bahwa keliling bumi sepanjang ekuator ialah 40.000 kilometer). Bumi berputar (rotasi) terhadap sumbu Kutub Utara (Ku) - Kutub Selatan (Ks) dengan periode 24 jam dan bersamaan dengan itu bumi bergerak (revolusi) mengeliling matahari dalam periode satu tahun atau 365,25636 hari dengan kecepatan yang bervariasi (tidak ajeg). Dalam orbitnya, bumi meniti lintasan yang berbentuk elips dengan matahari berada pada salah satu titik apinya (hukum Kepler). Adapun jarak rerata bumi–matahari ialah sekitar 14.600.000 kilometer.

  

Gambar II.1. Lempeng tektonik

(sumber: www.maps.com)


 
 
 
 

Sedikit lebih dalam tentang fenomena di sekitar permukaan bumi, diketahui bahwa sebagian besar (70%) permukaan bumi terdiri dari lautan dan hanya sekitar 30% yang berupa daratan. Proporsi volume air yang besar ini ternyata sangat esensial bagi kehidupan di planet bumi, diantaranya berfungsi memelihara temperatur bumi menjadi relatif stabil dan menahan erosi serta pengeringan daratan. Sementara itu atmosfer bumi yang berisi unsur-unsur nitrogen (77%), oksigen (21%), dan sisanya argon, CO2, dan uap air, merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan di muka bumi.

Lapisan permukaan bumi sampai kedalaman sekitar 40 kilometer disebut kulit atau kerak bumi yang menebal pada bagian daratan (kontinen) dan menipis pada bagian lautan. Menurut teori plate tectonic kerak bumi ini terdiri dari lempengan-lempengan yang secara mandiri “mengapung” di atas suatu lapisan panas yang disebut mantel. Ada delapan lempeng tektonik utama (besar) yang dikenal saat ini, yaitu lempeng Amerika Utara, Amerika Selatan, Antartika, Afrika, Eurasia, Indo-Australia, Pasifik, dan Nazca. Disamping itu terdapat tidak kurang dari 20 lempeng tektonik kecil seperti lempeng Filipina, Arab, Cocos, dan sebagainya (Gambar 1).

 
 
II.2. SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIK
 

Untuk mengidentifikasi posisi titik di bumi atau yang terkait dengan bumi, dikembangkan- lah Sistem Koordinat Geografik dengan mendefinisikan bentuk bumi berupa bola (globe) dengan dimensi mendekati ukuran bumi yang sesungguhnya (R=6378 kilometer). Sebagai origin sistem koordinat biasanya diambil titik pusat bumi (geosentrik).

  

 
 

Dalam sistem koordint ini kedudukan suatu titik (P) dinyatakan dengan tiga komponen koordinat (lihat Gambar 2):

a) Lintang geografik (sering dinyatakan dengan simbol huruf L atau φ),

b) Bujur geografik (sering dinyatakan dengan simbol huruf B atau λ),

c) Tinggi terhadap permukaan laut rerata (sering dinyatakan dengan simbol huruf h atau H).

Lintang geografik diukur dari Ekuator (0 derajat) sepanjang busur meridian ke arah Kutub Utara (positif) atau ke arah Kutub Selatan (negatif) sampai ke proyeksi titik yang bersangkutan pada permukaan bola bumi acuan. Harga lintang geografik berkisar dari 0 derajat sampai +90 derajat untuk belahan bumi utara dan dari 0 derajat sampai –90 derajat untuk belahan bumi selatan. Pada Gambar II.2, lintang geografik titik P ialah jP (=sudut QOP).

Bujur geografik diukur sepanjang busur ekuator mulai dari meridian Greenwich ke arah Timur (positif) atau ke arah Barat (negatif) sampai meridian yang melalui titik yang bersangkutan. Harga bujur geografik berkisar dari 0 derajat ( 0 jam) sampai 180 derajat (12 jam). Pada Gambar II.2, bujur geografik titik P ialah lP (=sudut QOX).

Tinggi titik diukur dari bidang acuan, biasanya permukaan laut rerata, sepanjang garis normal atau vertikal sampai ke titik yang bersangkutan. Pada Gambar II.2, tinggi titik P ialah hp. Jarak titik P ke origin sistem koordinat (pusat bumi) ialah R+hp.

Informasi tentang koordinat geografik titik-titik atau tempat pengamatan di permukaan bumi dapat diperoleh antara lain melalui data grafis yang disajikan oleh peta atau atlas, data koordinat yang disajikan oleh situs website “Google Earth” baik secara online   maupun offline, pengukuran langsung di lapangan dengan sistem  satelit (GPS, GNSS) atau  metode ekstra terestrial yang lain. Perlu diketahui bahwa untuk perhitungan-perhitungan posisi teliti di bumi dan sekitarnya diperlukan bentuk dan dimensi bumi acuan yang lebih akurat mendekati bentuk dan dimensi bumi yang sebenarnya, yaitu elipsoid.  Dalam hal ini pendekatan bentuk bumi bola tidak cukup akurat. Penentuan posisi dalam sistem satelit (GPS, GNSS, dsb) menggunakan acuan bumi elipsoid.  
 
 
SOAL-SOAL LATIHAN
 
1.      Sebutkan planet-planet anggauta sistem tatasurya kita, berturut-turut mulai dari yang terdekat dengan matahari !
2.      Berapakan jari-jari rerata bumi dan berapakah keliling bumi sepanjang ekuator ?
3.      Jelaskan bahwa 70% air yang menutupi permukaan bumi merupakan faktor esensial bagi kehidupan di bumi!
4.      Apakah yang dimaksud dengan kerak bumi dan sebutkan nama-nama lempeng tektonik yang saudara ketahui ! 
5.      Apakah yang dinamakan globe itu ? jelaskan !
6.      Buatlah gambar sketsa kedudukan titik P dalam sistem koordinat geografik apabila diketahui koordinat geografiknya sebagai berikut:
      (a) jP= -8o 00’ 00”;  lP= 110o 30’ 00”; hp = 0 meter               
      (b) jP= 21o 25’ 25”;  lP=  39o 49’ 40”; hp = 0 meter               
 
 
 
 
 
 

BAB III

SISTEM KOORDINAT LANGIT

III.1. BOLA LANGIT

Apabila kita berdiri di tempat terbuka di muka bumi, kita akan memperoleh kesan seolah-olah langit merupakan separuh bola yang melingkupi kita, sedangkan kita berada ditengah-tengah atau di pusat bola tersebut. Matahari, bulan, planet dan bintang-bintang seolah-olah berada (menempel) pada bola langit dan berjarak sama terhadap kita. Dengan persepsi ini kemudian dikembangkan model bola langit.

Bola langit didefinisikan sebagai bola berjari-jari R = 1 satuan, dengan pusat di permukaan bumi (toposentrik) atau berimpit dengan pusat bumi (geosentrik), digunakan untuk rekonstruksi kedudukan benda-benda langit relatif terhadap pengamat yang berada di pusat bola langit, sedangkan benda-benda langit (matahari, bulan, planet, dan bintang-bintang) diproyeksikan pada dinding bola langit (Gambar III.1).

Bola langit juga dapat dikonstruksi dengan mengembangkan bola bumi menjadi bola berjejari R=1 satuan dan merngubah unsur-unsur bola bumi menjadi unsur-unsur bola langit (Gambar III.2):

1. Kutub utara (Ku) dan Kutub selatan (Ks) masing-masing menjadi Kutub utara langit (KuL) dan Kutub selatan langit (KsL),

2. Ekuator menjadi Ekuator langit,

3. Meridian (garis bujur) menjadi Lingkaran waktu,

4. Meridian Greenwich menjadi Meridian langit Greenwich dan Meridian pengamat P menjadi Meridian Langit P (Lokal); Meridian langit = Lingkaran waktu

5. Paralel (garis lintang) menjadi Paralel langit


Di dalam Bab I telah diuraikan bahwa (a) fenomena rotasi bumi terhadap porosnya berefek pada orbit semu harian benda-benda langit periode 24 jam dengan arah sejajar ekuator langit atau paralel langit (b) fenomena revolusi bumi mengelilingi matahari berefek pada orbit semu tahunan matahari periode 365.25636 hari sepanjang ekliptik (c) fenomena revolusi bulan mengelilingi bumi ditunjukkan oleh gerak orbit bulan periode 29,5 hari, dari konyungsi kembali ke konyungsi, sepanjang lintasan orbitnya yang membentuk sudut sekitar 5 derajat terhadap ekliptik. Lintasan orbit benda-benda langit tersebut disajikan dalam Gambar III.3.

III.2. ORIENTASI BOLA LANGIT DI TITIK PENGAMATAN

Unsur-unsur bola langit yang terikat pada titik pengamatan ialah Zenit Z, Nadir N, Titik utara U, Titik timur T, Titik selatan S, Titik barat B, cakrawala atau Horizon langit, dan Meridian langit pengamat (Gambar III.1); Unsur-unsur bola langit tersebut bersifat unik untuk tiap titik pengamatan di bumi (terikat pada titik pengamatan); Artinya, tiap titik pengamatan memiliki unsur-unsur bola langit yang berbeda dengan titik yang lain. Sementara itu unsur-unsur bola langit yang tidak terikat pada titik pengamatan di bumi diantaranya ialah Kutub utara langit KuL, Kutub selatan langit KsL, Kutub utara ekliptik KuE, Kutub selatan ekliptik KsE, Ekuator langit, Ekliptik, dan lintasan orbit bulan (Gambar III.2 dan III.3).


Orientasi unsur-unsur bola langit terhadap titik pengamatan tertentu di bumi (pada suatu titik waktu) dapat dilakukan dengan merekonstruksi kedudukan kutub langit baik KuL maupun KsL terhadap Zenit, Nadir, itik Utara, dan titik Selatan. Busur lingkaran bola langit yang ditempati oleh keempat titik tersebut adalah meridian langit pengamat. Dengan memperhatikan Gambar III.1, III.2 dan III.3, dapat dirangkum beberapa kaidah sebagai berikut:

a) Jarak busur dari Zenit ke Horizon langit (titik-titik U, T, S, dan B) ialah 90o

b) Jarak busur dari KuL ke Ekuator langit ialah 90o

c) Jarak busur dari Zenit ke Kutub langit, dhi KuL, ialah (90o - jP) dan jarak busur dari KuL ke titik U, ialah jP. à . tinggi kutub = lintang tempat penganatan.

d) Jarak busur dari Zenit ke Ekuator langit ialah jP

e) Jarak busur dari S dan U masing-masing ke Ekuator langit ialah (90o - jP)

Jarak busur di atas adalah jarak busur meridian langit atau lingkaran waktu yang melewati Zenit. Dengan acuan kaidah-kaidah tersebut maka kedudukan atau orientasi bola langit beserta unsur-unsurnya dapat direkonstruksi untuk titik pengamatan tertentu di bumi yang diketahui lintang geografiknya. Kedudukan benda-benda langit pada suatu titik waktu (epoch) dapat rekonstruksi pada bola langit apabila koordinat benda-benda langit dan/atau waktu pengamatannya diketahui. Hal terakhir ini memerlukan penjelasan yang lebih dalam.

Contoh Orientasi Bola Langit di Titik Pengamatan

Kedudukan (orientasi) bola langit bagi seorang pengamat di muka bumi tergantung pada koordinat geografik tempat pengamatan. Lintang geografik tempat pengamatan menentukan kedudukan (tinggi) KuL dan KsL, dan seterusnya menentukan kedudukan ekuator langit dan ekliptik.


Sementara itu bujur geografik tempat pengamatan berkombinasi dengan waktu pengamatan menentukan kedudukan VE dan AE. Gambar III.5 di atas menyajikan contoh kedudukan bola langit untuk titik pengamatan P di muka bumi yang berkoordinat lintang geografik j = 25o (LS) pada suatu epok (titik waktu) tertentu saat matahari M sedang terbenam di ufuk barat.

Titik SS (Summer Soltice) dan titik WS (Winter Soltice) adalah masing-masing titik kedudukan matahari paling utara (sekitar tgl.21 Juni) dan paling selatan (sekitar tgl.22 Desember) dalam orbit semu tahunannya. Perlu kiranya dicatat bahwa, dalam rekonstruksi unsur-unsur benda langit, titik-titik KuE, KuL, SS, KsE, KsL.dan WS terangkai dalam satu lingkaran.

III.3. SISTEM KOORDINAT HORIZON

Sistem koordinat horizon terikat pada kedudukan titik pengamatan di bumi. Berikut ini adalah penjelasan atau definisi tentang unsur-unsur bola langit yang terikat pada kedudukan titik pengamatan di bumi seperti telah disinggung dalam sub-bab III.2 (lihat Gambar III.6):

  1. Zenit (Z) dan Nadir (N) adalah titik-titik perpotongan bola langit dengan perpanjangan garis vertikal (garis unting-unting) tempat berdiri pengamat di muka bumi; Tiap titik di muka bumi memiliki Zenit dan Nadir sendiri.
  2. Lingkaran vertikal ialah busur lingkaran besar yang menghubungkan Zenit dan Nadir.
  3. Horizon langit atau ufuk hakiki ialah busur lingkaran besar yang merupakan perpotongan bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus Zenit-Nadir.
  4. Meridian langit ialah lingkaran vertikal yang melewati KuL dan KsL.atau lingkaran waktu yang melewati Zenit.
  5. Titik Utara (U) dan Selatan (S) ialah titik-titik perpotongan meridian langit dengan horizon langit.
  6. Titik Timur (T) dan Barat (B) adalah titik-titik perpotongan ekuator langit dengan horizon langit.

Koordinat benda langit dalam Sistem Koordinat Horizon diidentifikasikan dengan komponen koordinat (Gambar III.6):

a) Azimut (sering dinyatakan huruf A, singkatan dari Azimut), dan

b) Tinggi (sering dinyatakan huruf a, singkatan dari altitude ).

Azimut benda langit diukur sepanjang busur horizon langit dari titik Utara ke arah Timur (U-T) sampai perpotongannya dengan lingkaran vertikal yang melewati benda langit yang bersangkutan. Harga azimut berkisar dari 0 derajat sampai 360 derajat.

Tinggi benda langit diukur sepanjang busur lingkaran vertikal yang melalui benda langit yang bersangkutan, mulai dari horizon langit ke arah Zenit (positif) atau ke arah Nadir (negatif) sampai ke benda langit. Harga tinggi benda langit berkisar dari 0 derajat sampai +90 derajat untuk benda langit yang berada di atas horizon dan dari 0 derajat sampai 90 derajat untuk benda langit yang berada di bawah horizon.

III. 4. SISTEM KOORDINAT EKUATORIAL

Sistem Koordinat Ekuatorial dibedakan menjadi dua yaitu Sistem Koordinat Asensio Rekta atau Sistem Koordinat Ekuatorial I dan Sistem Koordinat Ekliptik atau Sistem Koordinat Ekuatorial II. Beberapa pengertian tentang unsur-unsur bola langit yang terkait dengan Sistem Koordinat Ekuatorial ialah (Gambar III.7):

  1. Kutub Utara Langit (KuL) dan Kutub Selatan Langit (KsL) adalah titik-titik perpotongan bola langit dengan sumbu langit (=perpanjangan sumbu rotasi bumi), masing-masing pada arah Kutub Utara bumi (Ku) dan arah Kutub Selatan bumi (Ks).
  2. Lingkaran waktu ialah busur lingkaran besar yang menghubungkan KuL dan KsL.
  3. Ekuator Langit ialah busur lingkaran besar yang merupakan perpotongan antara bola langit dengan bidang datar yang melalui pusat bola langit dan tegak lurus Kul-KsL.
  4. Ekliptik ialah busur lingkaran besar yang merupakan lintasan semu matahari sepanjang tahun.
  5. Kutub Utara Ekliptik (KuE) dan Kutub Selatan Ekliptik (KsE) adalah perpotongan bola langit dengan sumbu bidang ekliptik (=garis melalui pusat bola langit dan tegaklurus bidang ekliptik).
  6. Vernal Equinox (VE) dan Autumnal Equinox (AE) adalah perpotongan antara ekuator langit dengan ekliptik, masing-masing bertepatan dengan titik lintas matahari pada ekuator langit dari belahan langit selatan ke utara dan dari belahan langit utara ke selatan

Unsur-unsur bola langit tersebut adalah unsur-unsur yang tidak tergantung pada kedudukan titik pengamatan di bumi. Selanjutnya, koordinat benda langit dalam Sistem Koordinat Asensio Rekta diidentifikasikan dengan komponen koordinat:

a) Asensio Rekta (sering dinyatakan dengan singkatan “AR” atau simbol a ), dan

b) Deklinasi (sering dinyatakan dengan simbol d ).


Asensio Rekta diukur sepanjang busur ekuator langit mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi sampai perpotongannya dengan lingkaran waktu yang melalui benda langit; Pada Gambar III.7, Asensio Rekta matahari M ialah panjang busur ekuator langit dari VE sampai M1. Harga AR berkisar dari 0 derajat ( 0 jam) sampai 360 derajat (24 jam).

Deklinasi diukur sepanjang busur lingkaran waktu yang melalui benda langit yang bersangkutan, mulai dari ekuator langit ke arah KuL (positif) atau ke arah KsL (negatif) sampai benda langit yang bersangkutan. Pada Gambar III.7, deklinasi matahari M ialah panjang busur lingkaran waktu dari M1 sampai M. Harga deklinasi berkisar dari 0 derajat sampai +90 derajat untuk benda langit dibelahan langit utara dan dari 0 derajat sampai 90 derajat untuk benda langit di belahan langit selatan.

Mirip dengan Sistem Koordinat Asensio rekta, koordinat benda langit dalam Sistem Sistem Koordinat Ekliptik diidentifikasikan dengan komponen koordinat:

a) Bujur Ekliptik (sering dinyatakan dengan simbol l ), dan

b) Lintang Ekliptik (sering dinyatakan dengan simbol b ).

Bujur Ekliptik diukur sepanjang busur ekliptik mulai dari VE searah dengan arah rotasi bumi sampai perpotongannya dengan meridian ekliptik yang melalui benda langit; Pada Gambar III.6, bujur ekliptik matahari M ialah panjang busur ekliptik dari VE sampai M. Harga bujur ekliptik berkisar dari 0 derajat ( 0 jam) sampai 360 derajat (24 jam).

Lintang Ekliptik diukur sepanjang busur meridian ekliptik yang melalui benda langit yang bersangkutan, mulai dari ekliptik ke arah KuE (positif) atau ke arah KsE (negatif) sampai benda langit yang bersangkutan. Pada Gambar III.7, lintang ekliptik matahari M berharga nol karena matahari M terletak pada ekliptik. Harga lintang ekliptik berkisar dari 0 derajat sampai +90 derajat untuk benda langit yang terletak di sebelah utara ekliptik dan dari 0 derajat sampai 90 derajat untuk benda langit yang terletak di sebelah selatan ekliptik. Perlu kiranya dicatat disini bahwa peristiwa konyungsi atau ijtimak dicapai pada saat bujur ekliptik matahari sama dengan bujur ekliptik bulan.

Koordinat matahari dan bulan dapat dihitung untuk titik waktu tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan model atau rumus perhitungan tertentu. Tersedia rumus-rumus perhitungan dengan tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Di bawah ini disajikan rumus perhitungan data matahari dan bulan yang cukup sederhana dengan ketelitian yang terhitung rendah, diambil dari tabel “the Astronomical almanac” Hasil hitungan dapat mencapai ketelitian 0,01o untuk asensio rekta dan deklinasi matahari. Sementara hasil hitungan data bulan dapat mencapai ketelitian 0,3o untuk asensio rekta dan bujur ekliptik dan ketelitian 0,2o untuk deklinasi dan lintang ekliptik. Ketelitian tersebut untuk hasil perhitungan data matahari dan bulan dalam periode tahun 1950 sampai 2050.

1. Julian Date (JD)

JD = INT(365.25 y) + INT{30.6001(m+1)} + D + UT/24 + 1720981.5

M adalah bilangan bulan ( 1 sampai 12) dan Y adalah bilangan tahun

untuk M < 2, m = M + 12 dan y = Y – 1

untuk M >2, m = M dan y = Y

D adalah bilangan tanggal

UT = GMT (jam + menit / 60 + detik / 3600) – Tz. (untuk WIB, Tz = 7)

2. Data astronomik matahari

n = JD – 2451545

L = 280.460o + 0.9856474o n …….….................. bujur ekliptik (mean sun)

g = 357.528o + 0.9856003o n

lm = L + 1.915o sin g + 0.020o sin 2g …….…... bujur ekliptik (true sun)

e = 23.439o – 0.0000004o n .……………............ kemiringan ekliptik

am = tan-1(cos e tan lm) ……………………….. asensio rekta

dm = sin-1(sin e sin lm) ………………………... deklinasi

R = 1.00014 – 0.01671 cos g – 0.00014 cos 2g jarak bumi - matahari

dm/2 = 0.2666o/ R ............................................... semi diameter

p = 0.0024o ........................................................... paralaks horizontal

ET = 4(Lam) dalam satuan menit waktu ....... perata waktu

1. Data astronomik bulan

t = (JD – 2451545)/36525

lq = 218.32o + 481267.883o t

+ 6.29o sin (134.9o + 477198.85o t)

– 1.27o sin (259.2o – 413335.38o t)

+ 0.66o sin (235.7o + 890534.23o t)

+ 0.21o sin (269.9o + 954397.70o t)

– 0.19o sin (357.5o + 35999.05o t)

– 0.11o sin (186.6o + 966404.05o t) ....... bujur ekliptik

bq = + 5.13o sin ( 93.3o + 483202.03o t)

+ 0.28o sin (228.2o + 960400.87o t)

0.28o sin (318.2o + 6003.18o t)

0.17o sin (217.6o – 407332.20o t) ....... lintang ekliptik

p = + 0.9508 o + 0.0518o cos (134.9o + 477198.85o t)

+ 0.0095o cos (259.2o – 413335.38o t)

+ 0.0078o cos (235.7o + 890534.23o t)

+ 0.0028o cos (269.9o + 954397.70o t) paralaks horizontal

dq/2 = 0.2725 p …………………………….. semi diameter

l = cos bq cos lq

m = 0.9175 cos bq sin lq – 0.3975 sin bq

n = 0.3978 cos bq sin lq + 0.9175 sin bq

aq = tan-1(m / l ) ………………….………….. asensio rekta

dq = sin-1(n ) ………………….……………… deklina

SOAL-SOAL LATIHAN

1. Gambarkan bola langit beserta unsur-unsurnya (Z, N, KuL. KsL, U, S, T, B, Horizon langit, Ekuator langit) untuk tempat pengamatan di bumi dengan lintang geografik (a) 0o, (b) 45oLU, (c) 45o LS, (d) 90o LU !

2. Gambarkan ekliptik beserta kedudukan KuE dan KsE pada masing-masing kasus tempat pengamatan (soal no.1) pada saat (a) VE berimpit T, (b) VE berimpit dengan B, (c) VE berjarak 45o dari T !

BAB IV

SEGITIGA BOLA

IV.1. RUMUS-RUMUS DASAR

Yang dimaksud dengan segitiga bola disini ialah segitiga pada permukaan bola yang dibentuk dengan cara menghubungkan tiga titik pada permukaan bola dengan busur lingkaran besar. Jadi sisi-sisi segitiga bola ialah segmen-segmen busur lingkaran besar. Unsur-unsur segitiga bola terdiri dari tiga sudut dan tiga sisi. Sisi-sisi diukur dengan unit sudut atau busur (Gambar IV.1).



Dalam Gambar IV.1 di atas, titik-titik A, B, dan C adalah titik-titik pada permukaan bola dengan jejari R=1, sedanggkan AB, AC, dan BC adalah busur-busur lingkaran besar, sementara AB1 dan AC1 adalah masing-masing garis lurus yang menyinggung busur AB dan AC di titik A. Harga sudut q di titik pusat bola langit O adalah sama dengan harga busur AB atau dengan kata lain, “panjang” busur AB ialah q. Sementara itu sudut a (pada bidang datar yang menyinggung bola di titik A) adalah sama dengan sudut yang diapit oleh busur AB dan AC di permukaan bola.

Sudut segitiga bola maupun busur segitiga bola dapat diukur dalam satuan DMS (derajat, menit, sekon) maupun dalam satuan RADIAN (2p radian = 360o; p = 3,141592654; 1 radian = 57o 17’ 44,8” = 206264,8”).

Pada Gambar IV.2 di atas, unsur-unsur segitiga terdiri dari tiga sudut (a, b, g) dan tiga sisi (a, b, c ).. Hubungan fungsional antara unsur-unsur segitiga bola dinyatakan dengan rumus-rumus segitiga bola. Rumus-rumus dasar segitiga bola meliputi rumus sinus, rumus cosinus, rumus tangen, dan rumus S. Berikut ini disajikan rumus sinus, rumus cosinus, dan rumus tangen dengan notasi unsur-unsur segitiga bola mengacu pada Gambar IV.2:

Rumus sinus:

sin a / sin a = sin b / sin b = sin c / sin g ....................................................... (1)

Rumus cosinus:

cos a = coc b cos c + sin b sin c cos a

cos b = coc a cos c + sin a sin c cos b ...................................................... (2)

cos c = coc a cos b + sin a sin b cos g

cos a = coc b cos g + sin b sin g cos a

cos b = coc a cos g + sin a sin g cos b ...................................................... (3)

cos g = coc a cos b + sin a sin b cos c

Rumus tangen:

tan ((a + b)/ 2) tan ((a + b)/ 2)

------------------ = -------------------

tan ((ab)/ 2) tan ((ab)/ 2)

.......................................................... (4)

cos ((a b)/ 2)

tan ((a + b)/ 2) = ------------------- tan c/ 2

cos ((a + b)/ 2)


................................................. (5)

sin ((a b)/ 2)

tan ((ab)/ 2) = ------------------- tan c/ 2

sin ((a + b)/ 2)


................................................ (6)

cos ((ab)/ 2)

tan ((a + b)/ 2) = ------------------ cot g/ 2

cos ((a + b)/ 2)


................................................. (7)

sin ((ab)/ 2)

tan ((a b)/ 2) = ------------------ cot g/ 2

sin ((a + b)/ 2)

................................................. (8)

Segitiga bola tertentu atau unik apabila tiga dari enam unsur-unsurnya tertentu (termasuk unsur yang tertentu ialah minimal satu sisi). Jadi segitiga bola tertertentu atau unik oleh himpunan unsur-unsur: (a) satu sisi dan dua sudut, atau (b) dua sisi dan satu sudut, atau (c) tiga sisi.

IV.2. APLIKASI SEGITIGA BOLA

Geometri segitiga bola diterapkan untuk berbagai perhitungan besaran-besaran astronomik, geodetik, maupun geografik. Aplikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim diantaranya ialah penentuan arah kiblat shalat dengan pendekatan atau asumsi bentuk bumi bola, penentuan waktu shalat fardhu melalui perhitungan kedudukan sudut waktu matahari di bola langit, dan perhitungan kedudukan hilal pada awal bulan Ramadhan dan Zul Hijjah.

Penentuan Arah Kiblat Shalat

Pendekatan atau asumsi yang diterapkan dalam penentuan arah kiblat shalat ialah bumi berbentuk bola, sehingga segmen-segmen busur lingkaran besar (jejari = 6378 km) yang menghubungkan Kutub Utara (K), Ka’bah (M), dan Titik tempat shalat (X) membentuk segitiga bola XKM sebagai berikut.


Unsur-unsur segitiga bola yang diketahui ialah:

a) Sisi KX = 90ojX (jX adalah lintang geografik tempat shalat)

b) Sisi KM = 90o jM (jM adalah lintang geografik Ka’bah = 21o 25’ 25”)

c) Sudut XKM = lXlM (lX adalah bujur geografk tempat shalat dan lM adalah bujur geografik Ka’bah = 39o 49’ 40”)

Unsur segitiga bola yang dihitung ialah sudut AXM (= azimut Utara-Barat untuk wilayah Indonesia) dengan salah satu dari dua cara berikut:

Cara I: menghitung busur XM dengan rumus (2), kemudian hasilnya digunakan untuk menghitung sudut AXM dengan rumus (1) atau rumus (2).

Cara II: menghitung besaran (AMX + AXM)/2 dan besaran (AMX - AXM)/2 masing-masing dengan rumus (7) dan (8), hasilnya dikurangkan untuk mendapatkan sudut AXM

Perhitungan Waktu Shalat

Waktu-waktu pelaksanaan ibadah shalat fardhu ditetapkan berdasarkan fenomena alam seperti terbit fajar (awal waktu shubuh), terbit matahari (akhir waktu shubuh), sesaat matahari melewati kulminasi atas (awal waktu dhuhur) dan seterusnya. Fenomena alam tersebut terkait langsung dengan kedudukan tinggi matahari (am) di lokasi shalat. Data tinggi titik pusat matahari (geosentrik) yang umum diterapkan untuk menghitung awal waktu shalat di Indonesia ialah sebagai berikut:

1. Shubuh am = – 20o

2. Syuruq dan Maghrib am = – (dip + refraksi + semi diamater matahari) + paralaks geosentrik

3. Dhuhur am = 90o – | φ – δ | – refraksi + paralaks geosentrik

4. Asar Syafei am = cot -1[1+ tan | φ – δ |] – refraksi + paralaks geosentrik

5. Isya’ am = –18o

Konsep segitiga bola disini diterapkan untuk sarana menghitung sudut waktu matahari (tm) dengan skema kedudukan matahari seperti Gambar IV.4 sebagai berikut:


Pada Gambar IV.4 di atas, M adalah titik pusat matahari, KuL adalah kutub utara langit, Z adalah zenit tempat shalat. Unsur-unsur yang diketahui dalam menghitung waktu shalat ialah lintang tempat shalat (jL), tinggi matahari (am), dan harga deklinasi matahari (dm). Dengan demikian maka unsur-unsur segitiga bola yang diketahui ialah busur KuL-Z = (90o jL), busur Z-M = (90o am), dan busur M-KuL = (90o dm).

Pada perhitungan pertama dihitung harga deklinasi matahari secara pendekatan. Hal ini dilakukan karena sebenarnya deklinasi matahari merupakan fungsi waktu, artinya berubah-ubah dalam waktu, sementara yang akan dihitung adalah waktu itu sendiri. Oleh karena itu maka diambillah waktu shalat pendekatan, kemudian data waktu ini dipakai untuk menghitung deklinasi matahari pendekatan. Pada saat menghitung deklinasi matahari, dihitung pula data matahari yang lain seperti asensio rekta (am), semi diamater (dm/2), paralaks horizontal (p), dan perata waktu ET. Dengan unsur-unsur segitiga bola yang telah diketahui, dihitunglah sudut waktu matahari (tm) dengan menggunakan rumus cosinus (2). Dari data sudut waktu matahari ini kemudian dihitung awal/akhir waktu shalat dalam sistem waktu wilayah (misal WIB):

Ts = tm + 12 – ET – λL + Tz

Ts = awal/akhir waktu shalat dalam sistem waktu wilayah

tm = sudut waktu matahari

ET = perata waktu (Equation of Time)

λL = bujur geografik lokasi shalat

Tz = selisih waktu wilayah terhadap GMT (untuk WIB, Tz = 7 jam)

Data waktu Ts kemudian digunakan untuk menghitung deklinasi matahari (tahap kedua). Dengan data deklinasi matahari ini dihitung kembali sudut waktu matahari dan selanjutnya dihitung awal/akhir waktu shalat. Apabila selisih data waktu Ts yang terakhir ini terhadap data waktu Ts sebelumnya masih lebih besar dari suatu nilai tertentu (misal 0,5 menit) maka proses hitungan (iterasi) diulang lagi. Perlu kiranya dikemukakan disini bahwa uraian di atas adalah prosedur perhitungan waktu shalat secara garis besar. Masih ada langkah-langkah detil yang perlu penjelasan lebih lanjut.

Perhitungan Kedudukan Hilal pada Awal Bulan Qamariyah

Konsep segitiga bola juga diterapkan untuk menghitung prakiraan kedudukan hilal pada awal bulan qamariyah, saat terbenam matahari setelah terjadi peristiwa konyungsi bumi-bulan-matahari. Skema kedudukan bulan saat matahari terbenam adalah seperti Gambar 15 berikut:

Gambar IV.5. Segitiga astronomi


Matahari M terbenam (berarti awal waktu maghrib) dengan kedudukan sudut waktu tm. Kedudukan sudut waktu ini bertepatan dengan waktu zone Ts atau GMT = Ts Tz dan waktu sidereal lokal LST = (am + tm). Data waktu ini kemudian dipakai untuk menghitung data koordinat bulan. Selanjutnya data prakiraan kedudukan hilal dihitung melalui geometri segitiga bola KUL-Z-Q. Dalam segitiga bola ini, unsur-unsur yang diketahui ialah busur KuL-Z = (90o jL), busur KuL-Q = (90o dq), dan sudut waktu bulan tq = LST aq. Dengan tiga unsur yang diketahui, maka tinggi bulan terhadap ufuk hakiki (aq) dapat dihitung dengan rumus cosinus (2) sedangkan azimut bulan (Aq) dapat dihitung dengan rumus cosinus (3) atau rumus sinus (1). Selanjutnya dihitung data yang mendukung kemungkinan visibilitas hilal seperti umur hilal, lebar hilal, elongasi, dan sebagainya.

SOAL-SOAL LATIHAN

1. Apakah sayarat-syarat suatu segitiga dinamakan segitiga bola ?

2. Jelaskan bahwa panjang sisi-sisi segitiga bola dinyatakan dengan satuan sudut !

3. Artikulasikan (dengan kata-kata) rumus sinus dan cosinus !

4. Uraikan prinsip penerapan konsep geometri segitiga bola pada penghitungan arah kiblat shalat !

5. Jelaskan bahwa kedudukan tinggi titik pusat matahari (geosentrik) pada awal waktu maghrib ialah – (dip + refraksi + setengah diameter matahari – paralaks) !

6. Uraikan prinsip penerapan konsep geometri segitiga bola pada penghitungan tinggi dan azimut bulan pada awal bulan qamariyah !

7. Jelaskan bahwa untuk memprakirakan visibilitas hilal pada suatu awal bulan qamariyah diperlukan dukungan data lain, tidak cukup hanya data tinggi hilal diatas ufuk saja !

DAFTAR PUSTAKA

---------, 1977, The Astronomical almanac for the Year 1987, Her Majesty’s Stationary Office, London.

Duffett-Smith, P., 1990, Astronomy with Your Personal Computer, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge.

Fahrurrazi, D., 1994, Falak Matahari dan Bulan, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ilyas, M., 1977, A Modern Guide to Astronomical Calculation of Islamia Calendar, Times & Qibla, Berita Publishing, SDN, BHD, Kuala Lumpur.

Kusumastanti, R., 1990, Pemrograman Komputer untuk Penentuan Waktu Shalat dan Arah Kiblat, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mueller, I.I., 1977, Spherical and Practical Astronomy as Applied to Geodesy, Frederick Ungar Publishing Co., New York.

Spiegel, M.R., 1968, Mathematical Handbook, Mc.Graw Hill-Book Company, New York.

http://www.astroseti.org/vernew.php?codigo=1252, akses tgl.17 Juli 2007 pukul 8:00 GMT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar