BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini dunia pendidikan di
Indonesia mengalami pergeseran paradigma dalam perlakuan terhadap peserta
didik. Peserta didik tidak hanya memiliki kecerdasan intelektua;l saja, akan
tetapi juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Dan hal ini agaknya
akan menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh warga negara mulai dari pemerintah,
pendidik maupun masyarakat agar mampu mengemban amanah UUD yaitu menserdaskan
kehidupan bangsa.
misalnya, dunia psikologi geger dengan ditemukannya
sebuah kecerdasan baru dalam diri manusia oleh psikolog Amerika V.S.
Ramachandran. Manusia ternyata
tak hanya memiliki dua kecerdasan, intelektual (IQ) dan emosional (EQ).
Ia juga memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Ditandai dengan adanya titik Tuhan (God spot) di dalam
otak.
Dan lagi berdasarkan survey di Amerika Serikat pada1918
tentang IQ, ditemukan "paradox" membahayakan: "Sementara skor IQ
anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Lebih
mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran 1970 dan 1980 terhadap
para orang tua dan guru menunjukkan, "Anak-anak generasi sekarang lebih
sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Secara pukul
rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan
lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas; impuilsif dan
agresif."
Survei tersebut kemudian berlanjut dengan penelitian
terhadap ratusan ribu pekerja, dari level bawah hingga eksekutif puncak.
Penelitian ini mencakup perusahaan-perusahaan besar sekelas AT&T di Amerika
Serikat, hingga perusahaan kecil, bahkan wirausahawan. Dalam pengkajiannya
ditemukan suatu inti kemampuan pribadi social yang sama, yang terbukti menjadi
kunci keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi.
BAB II
PEMBAHASAN
IQ pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Selama bertahun-tahun IQ telah
diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan
suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu
perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik,
praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan
tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan
jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang
dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional,
yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman
mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain.
Sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah
sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang
lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu
jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas
menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan
melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological
age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah
tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta
pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam
aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi,
sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor
yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia
kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk
Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang
masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang
menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual).
Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan
intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui
pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan
menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha
Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut
Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious
experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan
tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga
mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata
kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan
berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri
dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara
simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin
Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian
Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an,
serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan
adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat
spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak.
Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya
proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan
dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara
literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna.
Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari
Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan
konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan
dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna.
Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ
dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang
upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari
oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2)
nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan
menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu
kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh
persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung
jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah
kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, ada dua orang yang berjasa besar dalam
mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren
Daarut Tauhiid - Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha
muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan
Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu
model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan
ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang :
(1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk
menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati
dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu;
(2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan
format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta
sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman;
(3) Mission Statement, Character Building, dan
Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal
strength) dengan merujuk pada Rukun Islam;
(4) Strategic
Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain
atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial
individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan
sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan
semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam
batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita
mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa
diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya
dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan
menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia,
yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- IQ ditemukan pada tahun 1905 di paris tempatnya oleh
Binet, lalu dibawakan ke Amerika di Standford maka lahir menjadi Stanford
Binet, dan ingat ini dipakai ketika perang dunia pertama. Dan sampai saat ini
dipakai ketika mengukur manusia sukses apabila ia memiliki IQ seratus.
- EQ ditemukan pada tahun 1995 Sejak Daniel Goleman
meluncurkan buku bertema (working with emotional intelligence) dengan tema
kecerdasan emosional ini, kesadaran orang semakin besar akan pentingnya asah
emosi.
- SQ ditemukan pada tahun 2000 di California University
oleh V.S. Ramachandran dengan penemuan ilmiahnya, tentang fungsi otak ketiga
yang disebut God Spot, belum lagi reda semburan ide tentang kecerdasan
spiritual oleh Danar Zohar dan Ian Marshal pada tahun 2002 semakin menjadikan
manusia modern merasa perlu untuk mengenali struktur biologis otaknya.
B.
Saran
-
Untuk Pendidik
Agar dalam mendidik peserta didik harus mampu
mengembangkan ketiga kecerdasan peserta didik.
-
Untuk Pemerintah/DEPDIKNAS dan DEPAG
Agar bisa memajukan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi kepada IQ saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar