judul Buku : Sujud
Nisa di Kaki Tahajud Subuh
Pengarang : Kartini
Nainggolan
Editor : Dalilah
dan Elis Widayati
Penerbit : DIVA
Press ( Anggota IKAPI), Yogyakarta
Cetakan : Pertama,
oktober 2008
Tebal : 370
halaman
Makhluk-makhluk bergerak karena cinta, yaitu cinta oleh keabadian tanpa
permulaan. Sebagaimana angin menari-nari digerakan kuasa semesta. Karena itu
iapun bisa menggerakan pepohonan (Diwan-i Syams-i Tabris, Mullah Jalaluddin
Rumi).
Sejalankah apa yang ditulis Rumi dengan rasio manusia dewasa ini, ketika
kita memiliki pandangan bahwa yang menggerakkan kehidupan adalah perekonomia
atau uang? Dengan uang produksi berjalan kemudian menyerap tenaga kerja
sehingga daya beli masyarakat meningkat dan mendorong produksi, begitu
seterusnya. Tetapi tampaknya Rumi tidaklah terlalu absurd dengan pandangannya
di atas. Setidaknya hal ini sedang dibuktikan oleh Kartini Nainggolan melalui
novelnya “Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh”. Ketika uang bukanlah satu-satunya
yang bisa disebut modal bagi manusia untuk seuatu yang sesuai fitrahnya yaitu
akan bergerak dan terus bergerak atau dalam bahasa Al-Qur`an fantasyiru fi
al-ard.
Cahaya cinta yang dibalut wangi kesabaran yang membaja mampu menerangi
dengan seterang-terangnya titian tangga kerja keras, ikhtiar dan do`a. Dan
tiada yang dihasilkan kecuali kehidupan yang manis direngkuh mesra oleh pelukan
ridho Tuhan. Kartini Nainggolan berusaha mengajak kita untuk memasuki labirin
dalam rongga kepala dan dada kita yang disitulah tempat kontemplasi kita detik
demi detik dalam hidup, sehingga kita mau dan mampu merenung dan bermuhasabah
terhadap semua nilai, ajaran dan kehidupan yang telah lama kita lupakan bahkan
mungkin kita anggap usang. Kehidupan yang diajarkan oleh ibu-ibu kita,
guru-guru ngaji kita, orang tua-orang tua yaitu pemecahan terhadap semua jenis
masalah apapun namanya dengan dzikrullah, tetes air mata, do`a, munajat,
kepasrahan total dan kesabaran yang terbingkai dalam suatu tarian sufistik yang
bernama tahajud.
Kartini mencoba memasukan nilai-nilai tersebut baik secara eksplisit
maupun implisit kepada kita melalui tokoh Nisa. Nisa dengan kehidupannya yang
dikelilingi badai permasalahan, tebing kesulitan dan padang keputus asaan tetap
bisa survive dengan keberanian luar biasa yang terpancar dari mata air tahajud
dan terangkai dengan indah dengan cahaya subuh. Dengan masalah yang begitu
kompleks dari ekonomi, keluarga, persahabatan, belajar dan karir sampai cinta
yang tentu tak dapat dipisahkan dari adanya pengorbanan dan perjuangan yang
begitu berat, baik itu dari materi maupun perasaaan bahkan keinginan yang
begitu kuatpun harus ditanggalkan walau terasa berat dan teramat perih.
Model cerita novel ini sebenarnya masih mengandung tema sentral seperti
novel-novel religi keluaran FLP lain seperti Ayat-Ayat Cintanya
Habiburahman el-shirazy ataupun Lelaki
Kabut dan Boneka milik Helvi Tiana Rosa yaitu dakwah islam. Akan tetapi
novel ini tetap mampu membawa desir angin yang berbeda. Dengan menggunakan alur maju dan sudut pandang orang pertama
menjelaskan bab demi bab kehidupan dari “aku” (Nisa).
Diawali dengan pilihan sulit dari tuntutan ayah dan ibu yang bertentangan
yaitu antara kuliah dan bekerja. Tapi dengan rasa optimis yang dipompakan dari
ayahnya, Nisa menguatkan dirinya untuk kuliah di Kota Gudeg Yogyakarta. Kota
yang pada awalnya begitu ramah bagi Nisa dengan keberhasilannya memenangkan
lomba penulisan novel ternyata mampu berputar balik menyeretnya memasuki suatu
kehidupan yang oleh Kartini disebut “masa jahiliyah”. Ditengah-tengah kehidupan
yang melalaikan Nisa itulah datang suatu hidayah yang begitu unik dan sangat
berbeda dengan novel-novel lain sehingga mampu membawa Nisa hijrah ke jalan
Ilahi. Kemudian separuh kedua dari cerita ini berisi kehidupan Nisa yang sarat
akan penggambaran pribadi, watak, pemikiran dan kejiwaan Nisa yang dinaungi
ridho Allah dalam perjuangan dakwahnya.
Jika Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dikatakan mampu memotivasi
pembacanya yang dari segala generasi, maka sepertinya hal ini belum sepenuhnya
di dapat oleh Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh. Hal ini disebabkan,
pertama, penggunaan bahasa yang masih dikatakan sederhana oleh penulis untuk
menceritakan hal yang besar seperti waktu menceritakan Ais yang mengaku telah
diperkosa. Kedua, pasar novel ini masih kurang membumi bahkan cenderung hanya
untuk kalangan tertentu saja. Ketiga, adanya kesan yang kurang baik yang
ditinggalkan kepada pembaca yaitu seputar penceritaan keluarnya Nisa dari
MAPALA. Walau penulis sudah berulangkali menjelaskan argumennya tetapi agak
kurang dimengerti maksud yang ingin disampaikan.
Diluar segala persoalan di atas, novel ini sesungguhnya memiliki potensi
yang sangat bagus dalam membangun dunia sastra di tanah air. Jika penulis dapat
menghindari hal-hal seperti di atas maka di harapkan mampu menghidangkan sajian
yang mampu dimakan oleh semua lapisan masyarakat dan semua rasa dapat
tersalurkan.
Akhirnya harus saya akui bahwa novel yang berangkat dari inspirasi yang
kuat ini mampu menggugah, mencerahkan dan menyejukkan jiwa manusia ditengah
keadaan yang gersang seperti sekarang ini. Oleh karena itu tunggu apalagi
segera lengkapi perpustakaan anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar