Sekolah berasal dari kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu berarti secara harfiah adalah “waktu luang” atau “waktu senggang”. kata latin itu kemudian dalam bahasa inggris menjadi school dan masuk ke Indonesia menjadi sekolah. Apakah orang yang membuat kamus tidak keliru?
Akan tetapi ketika mendengar kata sekolah, maka yang terlintas dalam benak kita adalah sebuah tempat berisi gedung-gedung yang besar dan banyak, para remaja menggunakan seragam, ada abu-abu – putih, biru – putih, atau merah – putih, kemudian ada guru yang memakai baju safari, ada kegiatan yang terjadwal, ada kegiatan belajar mengajar, masuk pagi jam 7 sampai jam dua belas atau jam dua dan bertahun-tahun.
Penjelasan tentang benak kita itu menunjukkan suatu system, suatu lembaga, suatu organisasi yang besar, dengan segala kelengkapan birokrasinya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia di perjelas tentang pemahaman kita tentang sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada).
Dengan pemahaman tentang sekolah seperti ini, akan membawa dampak yang sangat luar biasa bagi dunia pendidikan kita. Para pengambil kebijakan tentang pendidikan di kementrian pendidikan, para kepala sekolah, para guru, para siswa itu sendiri, para orang tua, tukang kebun, TU, kakak-kakak pramuka, satpam dan mungkin juga para penjual buku-buku paket dan LKS akan memposisikan sekolah sebagai “tempat” dan “waktu”. Yaitu dimana sekolah harus ada guru dan siswa yang melakukan kegiatan belajar mengajar di suatu “tempat” dalam jangka “waktu” tertentu yang sudah di sepakati (missal dari jam 7 sampai jam 12) dari usia 6 tahun sampai lulus SMA (sekitar 18 tahun).
Sekolah adalah suatu tempat berisi ruang-ruang 3x4 meter, 5x6 meter, atau entah berapa kali berapa meter yang lain yang berisi meja dan bangku-bangku, ada papan tulisnya, ada gambar garudanya dan gambar presiden lengkap dengan wakilnya yang kita sepakati bersama bernama kelas. Ibaratkan tubuh manusia, kelas adalah organ penyusun tubuh ada tangan, kaki, kepala, jantung, darah dan semuanya adalah tubuh manusia – sekolah. Di aceh, jawa barat, Madura, sampit, papua yang disebut sekolah ya tak lepas dari dua kata “tempat” dan “waktu”.
Akibatnya sekolah adalah suatu entitas tersendiri dari kehidupan para siswanya yang terpisah dan hanya sedikit seklai ada relasinya. Sekolah membekali siswanya dengan sesuatu dan masyarakat serta kehidupan siswa-siswinya membutuhkan sesuatu yang lainnya. Wajar sekali kalau lulus dari sekolah mereka menjadi pengangguran.
Siswa-siswi dari sekolah seakan tercerabut dari dunianya. Seorang anak pembatik tak bisa membatik karena tak ada waktu untuk ikut membantu dan belajar membatik, seorang anak petani tak pernah ke sawah, seorang anak pedagang tak tahu cara melayani pembeli. Hal ini disebabkan mereka disibukkan di sekolah.
Dari pertama kali nalar mereka mulai berjalan sampai menjelang dewasa anak-anak dipaksa duduk di dalam ruang kelas, diatas bangku dan meja, menggunakan seragam, mendengarkan ceramah guru selama tujuh jam. Para guru berlomba-lomba menggelontorkan tugas-tugas yang setumpuk dan deadline yang harus di patuhi siswa jika ia ingin nilai yang bagus dan tidak di cap nakal.
Menjelang ujian semester atau ujian tengah semester dinamika di sekolah benar-benar padat. “mengejar materi” adalah istilah yang dipakai oleh guru-guru dengan maksud agar tuntutan SK dan KD yang ada bisa benar-benar disampaikan 100%. Apalagi menjelang ujian nasional, siswa sudah masuk dari jam ke nol dan pulang sore menjelang maghrib. Belum sampai disitu saja, ternyata baik para siswa maupun para orang tua belum puas. Mereka masih mengikuti les, privat, atau bimbel-bimbel dari sore sampai malam. Kehidupan di mulai oleh ketegangan, diisi ketegangan, dan diakhiri ketegangan. bahkan hari minggupun mereka tetap mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Usia anak-anak yang seharusnya penuh canda tawa, darah anak-anak yang seharusnya panas karena berlari kencang, jantung mereka yang seharusnya berdetak kencang mengikuti semangat kehidupan mereka yang sedang membara, dan paru-paru yang selalu mengembang berisi rasa ingin tahu yang dalam kini terkurung oleh yang disebut oleh orang-orang pintar sebagai pendidikan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat terindah dalam hidup mereka, sekolah menjadi masa-masa yang bisa memuaskan rasa ingin tahu mereka yang besar, bukan hanya menerima apa yang harus dipelajari yang disusun oleh orang lain.
Kembali pada arti kata sekolah, tentu saja tidak ada yang keliru dalam pembuatan kamus. Alkisah dalam masyarakat yunani tempo dulu, biasanya orang-orang menggunakan waktu luangnya sambil menunggu masa panen, atau masa ternaknya tumbuh, sehari dua hari mereka suka pergi ke tetangga mereka yang pandai, atau ke suatu tempat untuk belajar sesuatu yang mungkin mereka butuhkan. Misalnya ladang mereka terkena hama dan mereka tidak bisa mengatasinya, mereka akan pergi ke tempat orang yang sudah pernah mengatasi hama yang sama atau ke tempat orang yang lebih tua untuk belajar. Kegiatan itu mereka namakan sebagai skhole, scola, scolae, atau schola , keempatnya punya arti yang sama yaitu “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.
Lama kelamaan tradisi itu bukan hanya untuk waktu-waktu tertentu dan kondisional, tetapi orang tua mereka mengirimkan anak lelaki mereka untuk belajar pada orang yang lebih pandai. Selain orang tua mereka sibuk, juga agar kemampuan anak lelaki itu lebih baik dari orang tuanya. Biasanya ke tempat dimana orang tua pernah ber- skhole.
Jika melihat sejarah kata sekolah yang seperti itu, maka sangat berdosa sekali sekolah-sekolah masa kini. Guru-guru sudah memegang apa-apa yang “harus” siswa pelajari meski itu sama sekali jauh dari kehidupannya bahkan sampai yang penting untuk dirinya tidak sempat mereka pelajari. Itu jika mereka mau lulus dengan nilai bagus.
Yang dimaksud sekolah berbasis libur adalah sekolah yang bisa menjadikan dirinya adalah hal yang sangat dirindukan dan disenangi oleh peserta didiknya. Sekolah yang sedikit sekali SK dan KD yang menumpuk. Sekolah yang membebaskan siswanya belajar apa yang ia inginkan. Sekolah yang tidak menjadikan siswa siswinya kaset yang harus merekam semua yang ia katakan, tapi sekolah yang membebaskan dunia manusia. Sehingga berangkat ke sekolah adalah berangkat untuk refreshing dan belajar yang menyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta
A Sitompul, 2009. Sekolah itu Candu. Pustaka : Jakarta
A Sumitro. 2007. Belajar Dusta di Sekolah Kita. Diva Press : Jogjakarta
-----------. 2010. Sekolah Bukan Pasar. Kompas : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar