Pages

Senin, 07 November 2011

ISLAM DAN GENDER

Islam dan Gender

Sebelum kedatangan Islam kedudukan perempuan di seluruh dunia dipandang rendah.Perempuan tidak mendapat hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tapi juga dapat diwariskan sebagaima­na harta benda.Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyyah biasa menguburkan anak perempuan.Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penin­dasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya (Asghar Ali Engineer, 1997)

Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.

Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar.” (Q.S. al-Qamar/54 : 49). Oleh pada ulama, qadar di sini diartikan sebagai “ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu”, dan itulah kodrat. Dengan demikian laki-laki dan perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing.Namun demikian, Syekh Mahmud Syaltut, Pemimpin tertinggi al-Azhar pernah mengatkan:“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir apat dikatakan Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana Allah menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereke berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemanusiaan”.

Ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan di dalam membicarkan tentang asal usul kejadian perempuan adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4 : 1, “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan pasangannya adalah istri beliau Hawa. umumnya para mufassirin memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidat dan zaujahâ dalam ayat itu adalah Nabi Adam AS (laki-laki) dan Hawa (perempuan) yang dari keduanyalah kemudian berkembang biak ummat manusia (Yunahar Ilyas, 1997). Kontrovesi sesungguhnya bukan kepada siapa yang pertama, tapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat wa khalaqa minhâ zaujahâ. Persoalannya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah seperti penciptaan Adam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata kunci penafsiran yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah kalimat itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari (diri) Adam itu sendiri.

Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak akan pernah ada. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang mengatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian. Namun tidak sedikit ulama memahaminya sebagai metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadis tersebut (Quraish Shihab, 1999).

Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para ulama di atas, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Adam dan zaujahâ itu Hawa, istrinya. Padahal ungkap teolog muslimah yang akhir-akhir ini sangat serius mengkaji masalah perempuan itu, kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjukkan kepada laki-laki atau perempuan, tetapi bersifat netral, bisa laki-laki bisa perempuan. Begitu juga zauj, tidak secara otomatis diartikan istri, karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa perempuan. Disamping zauj dikenal juga istilah zaujah, bentuk feminin dari zauj. Mengutip kamus Taj al-‘Arus, Riffat menyatakan bahwa hanya masyarakat hijaz yang menggunakan istilah zauj untuk menunjukkan kepada perempuan, sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu, tulis Riffat mempertanyakan, kenapa al-Qur’an yang secara meyakinkan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan zaujah, seandainya yang dimaksud itu sungguh-sungguh perempuan?

Lepas dari kontrovesri di atas, Amina Wadud Muhsin (1992), menyatakan bahwa yang penting bukan bagaimana Hawa diciptakan, tetapi kenyataan bahwa Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan, menurut Amina, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini pas saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya pasangan lainnya dengan logis dan keduanya berdiri tegak hanya atas dasar hubungan ini. Dengan pengertian seperti ini penciptaan Hawa, bagi Amina merupakan bagian rencana penciptaan Adam. Dengan demikian keduanya sama pentingnya.

Al-Qur’an tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam konteks penciptaan dan proses selanjutnya sebagai manusia. Tidak sebagaimana pandangan sebagian pandangan kebanyakan orang selama ini (khususnya dalam tradisi Nasrani dan Yahudi) bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki. Dalam pandangan al-Qur’an, Allah menciptakan semuanya (perempuan dan laki-laki) adalah “untuk satu tujuan” (Q.S. Al-Hijr/15 : 85) dan “tidak untuk main-main” (Q.S. Al-Anbiya’/21 : 16). Hal tersebut merupakan salah satu tema utama al-Qur’an.

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan . Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan denagn orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.

Manusia, yang diciptakan “dengan sebaik-baik bentuk” (Q.S. At-Tin/95 : 4) telah diciptakan untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. Adz-Dzariyat/51 : 56). Yang selanjutnya, menurut ajaran al-Qur’an, pengabdian kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari pengabdian kepada umat manusia, atau, dalam istilah Islam, orang-orang yang beriman kepada Allah harus menghormasti Haqqullah (hak-hak Allah) dan Haqul ‘Ibad (hak-hak makhluq). Penenuhan kewajiban kepada Tuhan dan manusia merupakan hakekat kesalehan. Laki-laki dan perempuan sama-sama diseru oleh Allah agar berbuat kebajikan dan akan diberi pahala yang sma untuk kesalehan mereka. Hal ini dinyatakan dengan jelas dala sejumlah ayat al-Qur’an seperti berikut :

“ Dan Tuhan …. memperkenankan permohonan mereka : “Tidak pernah aku sia-siakan amal setiap kamu, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kamu adalah turunan dari sebaian yang lain.” (Q.S. Ali Imran/3 : 195)

“ Siapapun yang berbuat kesalehan, baik laki-laki maupun perempuan, dan mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga. Dan tidaklah ketidakadilan sekecilpun akan ditimpakan kerpada mereka.” (Q.S. An-Nisa’/4 : 124)

“ Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah pelindung, yang satu terhadap yang lain : mereka menyuruh kepada keadilan dan mencegah berbuat kejahatan; mereka taat melakukan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Atas mereka, akan Allah limpahkan rahmat-Nya karena Allah.” (Q.S. At-Taubah/9 : 71)

“Siapapun yang berbuat kesalehan, laki-laki ataupun perempuan, dan mereka beriman, sungguh, kepada mereka akan Kami berikan suatu kehidupan baru, kehidupan yang baik dan suci, dan Kami akan memberikan pahala yang terbaik atas apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. an-Nahl/16 : 97)

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam kenyataan di masyarakat muslim, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.

Salah satu tujuan al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.

Al-Qur’an tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah tetapi juga bahwa mereka merupakan “anggota-anggota” dan “pelindung” satu sama lain. Dengan kata lain, al-Qur’an tidak menciptakan hirarki-hirarki yang menempatkan laki-laki di atas perempuan (sebagaimana dilakukan oleh banyak ulama Nasrani). Al-Qur’an juga tidak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam satu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai makhluq-makhluq yang setara dari Pencipta alam semesta, yang Maha Adil dan Maha Pengasih, yang menginginkan mereka hidup dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama.

Meskipun al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, masyarakat muslim pada umumnya tidak menganggap laki-laki dan perempuan setara, terutama dalam konteks perkawinan. Dasar penolakan masyarakat Muslim terhadap gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar dalam keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dalam asal-usul penciptaan (karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok) dan dalam kesalehan (karena membantu setan dalam menggoda Adam untuk melakukan apa yang telah dilarang Allah), dan diciptakan terutama untuk dimanfaatkan oleh laki-laki yang lebih tinggi dari mereka.

Superioritas laki-laki atas perempuan yang meresap dalam tradisi Islam didasarkan kepada hadis-hadis Israilliyat (penyusupan ide-ide Israel dalam muatan hadis) dan juga pada interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Riwayat Isra’illiyat ialah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi sebelum Islam,seperti dari Yahudi dan Nasrani. Cerita-cerita ini muncul di dalam kitab-kitab tafsir dan dalam kitab-kitab syarh Hadis. Bisa jadi cerita-cerita tesebut dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk Islam, atau mungkin pula melalui upaya penyusupan secara sistematis oleh kalangan penganut agama tersebut. Beberapa kitab tafsir mu’tabar mengintrodusir kisah-kisah isra’iliyat, seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Alusi dan sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999). Seperti yang sudah diketahui, dalam ajaran Nasrani maupun Yahudi terdapat pendangan yang merendahkan derajat perempuan. Dengan demikian semakin banyak mengintrodusir kisah-kisah Isra’illiyat dalam penafsiran al-Qur’an maupun Hadis, semakin besar pula peluang terjadinya bias ketidakadilan dalam memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan

Contoh kisah Isra’iliyyat dalam penafsiran al-Qur’an adalah kisah asal-usul kejadian perempuan. Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang secara umum cenderung difahami memberikan citra negatif terhadap perempuan, seperti menafsirkan kehadiran perempuan untuk melengkapi bagian dari kebutuhan laki-laki (2:20). Perempuan dikesankan sebagai ciptaan kedua (second creation) dan subordinasi dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (2:21-22). Perempuan ditimpakan kesalahan dalam kisah jatuhnya manusia (Adam dan Hawa) dari surga ke dunia (3:12), karenanya perempuan harus lebih banyak menanggung resiko dalam konsep dosa warisan tersebut (3:12) Ayat-ayat ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Talmud, suatu kitab yang mengulas ayat-ayat yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama.

Penggunaan kisah-kisah Isra’iliyyat di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis tidak selamanya dipandang negatif. Agama Yahudi dan agama Nasrani yang kemudian melahirkan Kitab Taurat dan Injil, adalah berasal dari anak cucu Nbi Ibrahim. Keberadaan kedua agama dan kedua kitab suci tersebut diakui dalam al-Qur’an. Merujuk kepada kedua Kitab Suci tersebut dipandang syah dan wajar oleh para mufassir. Hanya saja maslahnya alah sejauh mana keaslian kisahikisah yang dijadikan rujukan tersebut. Kalau yang dijadikan rujukan adalah kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Talmud, sebagaimana telah diketahui, banyak terdapat cerita-cerita rakyat Babilonia.

Dengan mengintrodusir tradisi klasik masyarakat Babilonia yang sarat dengan mitos itu, maka barang tentu akan menimbulkan pandangan yang menyudutkan perempuan, mengingat mitos-mitos Babilonia sangat merugikan perempuan.Tidak heran jika kitab-kitab tafsir yang mengintrodusir kisah-kisah Isra’iliyyat ditemukan banyak penafsiran yang memojokkan perempuan.

Allah yang berbicara melalui al-Qur’an bercirikan keadilan dan dinyatakan secara jelas dalam al-Qur’an bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm (tidak jujur, tirani, pemerasan dan perbuatan yang salah). Karenanya, al-Qur’an sebagai firmah Allah tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan manusia, dan ketidakadilan yang membuat perempuan Muslim ditundukkan dan diremehkan, tidak bisa dianggap dari Allah.

Al-Qur’an, menurut penulis, sangat memperhatikan pembebasan manusia –baik laki-laki mapun perempuan – dari berbagai macam penindasan dan ketidakadilan yang pada akhirnya menghalangi manusia mengaktualisasikan visi al-Qur’an tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan al-Qur’an : “Kepada Allah-lah mereka akan kembali.” (Q.S. An-Najm/53 : 42)

DAFTAR PUSTAKA

Budhy Munawar-Rachman, “Islam dan Feminisme, dari Sentralisme Kepada Kesetaraan”, dalam Mansour Faqih dkk., Membincang Feminisme, Cet. I, Surabaya : Risalah Gusti, 1996.

Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Alih bahasa oleh Team LSPPA,Yogyakarta : LSPPA – Yayasan Prakarsa, 1995.

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih Pemberdayaan, Cet. 2, Bandung : Mizan, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar