Pages

Senin, 07 November 2011

SEGITIGA BOLA

(Ir. H. Djawahir, M.Sc./LFNU DIY)

IV.1. RUMUS-RUMUS DASAR

Yang dimaksud dengan segitiga bola disini ialah segitiga pada permukaan bola yang dibentuk dengan cara menghubungkan tiga titik pada permukaan bola dengan busur lingkaran besar. Jadi sisi-sisi segitiga bola ialah segmen-segmen busur lingkaran besar. Unsur-unsur segitiga bola terdiri dari tiga sudut dan tiga sisi. Sisi-sisi diukur dengan unit sudut atau busur (Gambar IV.1).































Dalam Gambar IV.1 di atas, titik-titik A, B, dan C adalah titik-titik pada permukaan bola dengan jejari R=1, sedanggkan AB, AC, dan BC adalah busur-busur lingkaran besar, sementara AB1 dan AC1 adalah masing-masing garis lurus yang menyinggung busur AB dan AC di titik A. Harga sudut  di titik pusat bola langit O adalah sama dengan harga busur AB atau dengan kata lain, “panjang” busur AB ialah . Sementara itu sudut  (pada bidang datar yang menyinggung bola di titik A) adalah sama dengan sudut yang diapit oleh busur AB dan AC di permukaan bola.
Sudut segitiga bola maupun busur segitiga bola dapat diukur dalam satuan DMS (derajat, menit, sekon) maupun dalam satuan RADIAN (2 radian = 360o;  = 3,141592654; 1 radian = 57o 17’ 44,8” = 206264,8”).

Pada Gambar IV.2 di atas, unsur-unsur segitiga terdiri dari tiga sudut (, , ) dan tiga sisi (a, b, c ).. Hubungan fungsional antara unsur-unsur segitiga bola dinyatakan dengan rumus-rumus segitiga bola. Rumus-rumus dasar segitiga bola meliputi rumus sinus, rumus cosinus, rumus tangen, dan rumus S. Berikut ini disajikan rumus sinus, rumus cosinus, dan rumus tangen dengan notasi unsur-unsur segitiga bola mengacu pada Gambar IV.2:

Rumus sinus:

sin a / sin  = sin b / sin  = sin c / sin  ....................................................... (1)

Rumus cosinus:

cos a = coc b cos c + sin b sin c cos 
cos b = coc a cos c + sin a sin c cos  ...................................................... (2)
cos c = coc a cos b + sin a sin b cos 

cos  = coc  cos  + sin  sin  cos a
cos  = coc  cos  + sin  sin  cos b ...................................................... (3)
cos  = coc  cos  + sin  sin  cos c

Rumus tangen:


.......................................................... (4)



................................................. (5)




................................................ (6)




................................................. (7)


................................................. (8)




Segitiga bola tertentu atau unik apabila tiga dari enam unsur-unsurnya tertentu (termasuk unsur yang tertentu ialah minimal satu sisi). Jadi segitiga bola tertertentu atau unik oleh himpunan unsur-unsur: (a) satu sisi dan dua sudut, atau (b) dua sisi dan satu sudut, atau (c) tiga sisi.


IV.2. APLIKASI SEGITIGA BOLA

Geometri segitiga bola diterapkan untuk berbagai perhitungan besaran-besaran astronomik, geodetik, maupun geografik. Aplikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim diantaranya ialah penentuan arah kiblat shalat dengan pendekatan atau asumsi bentuk bumi bola, penentuan waktu shalat fardhu melalui perhitungan kedudukan sudut waktu matahari di bola langit, dan perhitungan kedudukan hilal pada awal bulan Ramadhan dan Zul Hijjah.

Penentuan Arah Kiblat Shalat
Pendekatan atau asumsi yang diterapkan dalam penentuan arah kiblat shalat ialah bumi berbentuk bola, sehingga segmen-segmen busur lingkaran besar (jejari = 6378 km) yang menghubungkan Kutub Utara (K), Ka’bah (M), dan Titik tempat shalat (X) membentuk segitiga bola XKM sebagai berikut.















Unsur-unsur segitiga bola yang diketahui ialah:
a) Sisi KX = 90o – X (X adalah lintang geografik tempat shalat)
b) Sisi KM = 90o – M (M adalah lintang geografik Ka’bah = 21o 25’ 25”)
c) Sudut XKM = X – M (X adalah bujur geografk tempat shalat dan M adalah bujur geografik Ka’bah = 39o 49’ 40”)

Unsur segitiga bola yang dihitung ialah sudut AXM (= azimut Utara-Barat untuk wilayah Indonesia) dengan salah satu dari dua cara berikut:
Cara I: menghitung busur XM dengan rumus (2), kemudian hasilnya digunakan untuk menghitung sudut AXM dengan rumus (1) atau rumus (2).
Cara II: menghitung besaran (AMX + AXM)/2 dan besaran (AMX - AXM)/2 masing-masing dengan rumus (7) dan (8), hasilnya dikurangkan untuk mendapatkan sudut AXM



Perhitungan Waktu Shalat
Waktu-waktu pelaksanaan ibadah shalat fardhu ditetapkan berdasarkan fenomena alam seperti terbit fajar (awal waktu shubuh), terbit matahari (akhir waktu shubuh), sesaat matahari melewati kulminasi atas (awal waktu dhuhur) dan seterusnya. Fenomena alam tersebut terkait langsung dengan kedudukan tinggi matahari (am) di lokasi shalat. Data tinggi titik pusat matahari (geosentrik) yang umum diterapkan untuk menghitung awal waktu shalat di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. Shubuh am = – 20o
2. Syuruq dan Maghrib am = – (dip + refraksi + semi diamater matahari) + paralaks geosentrik
3. Dhuhur am = 90o – | φ – δ | – refraksi + paralaks geosentrik
4. Asar Syafei am = cot -1[1+ tan | φ – δ |] – refraksi + paralaks geosentrik
5. Isya’ am = –18o

Konsep segitiga bola disini diterapkan untuk sarana menghitung sudut waktu matahari (tm) dengan skema kedudukan matahari seperti Gambar IV.4 sebagai berikut:
















Pada Gambar IV.4 di atas, M adalah titik pusat matahari, KuL adalah kutub utara langit, Z adalah zenit tempat shalat. Unsur-unsur yang diketahui dalam menghitung waktu shalat ialah lintang tempat shalat (L), tinggi matahari (am), dan harga deklinasi matahari (m). Dengan demikian maka unsur-unsur segitiga bola yang diketahui ialah busur KuL-Z = (90o – L), busur Z-M = (90o – am), dan busur M-KuL = (90o – m).

Pada perhitungan pertama dihitung harga deklinasi matahari secara pendekatan. Hal ini dilakukan karena sebenarnya deklinasi matahari merupakan fungsi waktu, artinya berubah-ubah dalam waktu, sementara yang akan dihitung adalah waktu itu sendiri. Oleh karena itu maka diambillah waktu shalat pendekatan, kemudian data waktu ini dipakai untuk menghitung deklinasi matahari pendekatan. Pada saat menghitung deklinasi matahari, dihitung pula data matahari yang lain seperti asensio rekta (m), semi diamater (dm/2), paralaks horizontal (p), dan perata waktu ET. Dengan unsur-unsur segitiga bola yang telah diketahui, dihitunglah sudut waktu matahari (tm) dengan menggunakan rumus cosinus (2). Dari data sudut waktu matahari ini kemudian dihitung awal/akhir waktu shalat dalam sistem waktu wilayah (misal WIB):

Ts = tm + 12 – ET – λL + Tz

Ts = awal/akhir waktu shalat dalam sistem waktu wilayah
tm = sudut waktu matahari
ET = perata waktu (Equation of Time)
λL = bujur geografik lokasi shalat
Tz = selisih waktu wilayah terhadap GMT (untuk WIB, Tz = 7 jam)
Data waktu Ts kemudian digunakan untuk menghitung deklinasi matahari (tahap kedua). Dengan data deklinasi matahari ini dihitung kembali sudut waktu matahari dan selanjutnya dihitung awal/akhir waktu shalat. Apabila selisih data waktu Ts yang terakhir ini terhadap data waktu Ts sebelumnya masih lebih besar dari suatu nilai tertentu (misal 0,5 menit) maka proses hitungan (iterasi) diulang lagi. Perlu kiranya dikemukakan disini bahwa uraian di atas adalah prosedur perhitungan waktu shalat secara garis besar. Masih ada langkah-langkah detil yang perlu penjelasan lebih lanjut.

Perhitungan Kedudukan Hilal pada Awal Bulan Qamariyah
Konsep segitiga bola juga diterapkan untuk menghitung prakiraan kedudukan hilal pada awal bulan qamariyah, saat terbenam matahari setelah terjadi peristiwa konyungsi bumi-bulan-matahari. Skema kedudukan bulan saat matahari terbenam adalah seperti Gambar 15 berikut:






Matahari M terbenam (berarti awal waktu maghrib) dengan kedudukan sudut waktu tm. Kedudukan sudut waktu ini bertepatan dengan waktu zone Ts atau GMT = Ts – Tz dan waktu sidereal lokal LST = (m + tm). Data waktu ini kemudian dipakai untuk menghitung data koordinat bulan. Selanjutnya data prakiraan kedudukan hilal dihitung melalui geometri segitiga bola KUL-Z-Q. Dalam segitiga bola ini, unsur-unsur yang diketahui ialah busur KuL-Z = (90o – L), busur KuL-Q = (90o – q), dan sudut waktu bulan tq = LST – q. Dengan tiga unsur yang diketahui, maka tinggi bulan terhadap ufuk hakiki (aq) dapat dihitung dengan rumus cosinus (2) sedangkan azimut bulan (Aq) dapat dihitung dengan rumus cosinus (3) atau rumus sinus (1). Selanjutnya dihitung data yang mendukung kemungkinan visibilitas hilal seperti umur hilal, lebar hilal, elongasi, dan sebagainya.


SOAL-SOAL LATIHAN

1. Apakah sayarat-syarat suatu segitiga dinamakan segitiga bola ?
2. Jelaskan bahwa panjang sisi-sisi segitiga bola dinyatakan dengan satuan sudut !
3. Artikulasikan (dengan kata-kata) rumus sinus dan cosinus !
4. Uraikan prinsip penerapan konsep geometri segitiga bola pada penghitungan arah kiblat shalat !
5. Jelaskan bahwa kedudukan tinggi titik pusat matahari (geosentrik) pada awal waktu maghrib ialah – (dip + refraksi + setengah diameter matahari – paralaks) !
6. Uraikan prinsip penerapan konsep geometri segitiga bola pada penghitungan tinggi dan azimut bulan pada awal bulan qamariyah !
7. Jelaskan bahwa untuk memprakirakan visibilitas hilal pada suatu awal bulan qamariyah diperlukan dukungan data lain, tidak cukup hanya data tinggi hilal diatas ufuk saja !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar