Pages

Senin, 07 November 2011

Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting


oleh:


MOEDJI RAHARTO**)

Kelompok Keahlian (KK) Astronomi – Observatorium Bosscha

Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) –

Institut Teknologi Bandung (ITB)

HP 085221088854; e-mail: moedji@as.itb.ac.id

*) Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau tanggal 17 – 23 Desember 2006, bertempat di Masjid Agung Semarang, Jawa Tengah, diselenggarakan oleh Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

**) Anggota BHR Jabar dan Nasional; Staf Akademik Prodi Astronomi, Anggota Kelompok Keahlian Astronomi – Observatorium Bosscha – FMIPA – ITB; Anggota International Islamic Calendar Programme. Alamat Kantor Gd Astronomi – Lab Tek III – Kampus ITB – Jl. Ganesha 10 Bandung 40132; Tlp. Fax 022 2509170 dan 022 2786001; 022 251 1576 ; R: 022 2787635 HP 085221088854; e-mail: moedji@as.itb.ac.id

PENDAHULUAN

Jendela Informasi

Benda langit memancarkan informasi dalam berbagai panjang gelombang. Pancaran gelombang cahaya tidak semua menembus angkasa Bumi. Salah satu bagian jendela informasi yang menembus angkasa Bumi adalah informasi dalam daerah cahaya-tampak. Mata manusia sensitif dalam menangkap signal cahaya-tampak benda langit, bintang, planit, Matahari maupun Bulan. Bulan dikenal manusia di Bumi lewat pantulan cahaya Matahari, kadang-kadang bagian Bulan yang memantulkan cahaya Matahari yang dipantulkan planit Bumi juga bisa nampak. Cahaya pantulan dari planit Bumi jauh lebih lemah dari cahaya sabit Bulan maupun cahaya senja, sehingga tidak banyak berperan dalam menentukan keberhasilan pengamatan Hilal.

Permasalahan untuk mendapat kepastian Hilal bergantung dari kecerlangan sabit bulan, apakah sabit bulan yang tipis itu lebih terang dibandingkan dengan cahaya latar depan cahaya matahari yang disebar oleh angkasa Bumi. Kondisi kaki langit barat kurang dari 20 derajat sering berawan tipis atau bahkan berawan tebal. Bila langit di arah Hilal berawan tebal, awan akan menghalangi pengamatan Hilal, pengamatan dengan mata bugil maupun menggunakan teropong optik, atau binokuler akan mempunyai hasil yang sama gagal dalam melihat Hilal.

Masalah umum yang permanen dalam pengamatan Hilal adalah:

1. Kontras atau beda antara brightness sabit bulan dan brigthness cahaya senja, bervariasi dari waktu ke waktu, kontras membesar seiring matahari menjauh dari horizon.

2. Batas rentang sensitifitas, resolusi daya pisah, kontras sistem optik dan detektor alat pengamatan,

3. Variabilitas transparansi dan seeing angkasa di dekat horizon umumnya lebih jelek dibandingkan dengan lokasi di kawasan langit dekat zenit pengamat.

MATA BAGI PENGAMATAN ASTRONOMI

Mata dan teleskop mempunyai sebuah kesamaan fungsi yaitu menangkap signal informasi. Proses penangkapan signal informasi melalui pengumpulan oleh permukaan kolektor (lensa atau cermin) dan pemfokusan signal informasi tersebut kemudian direkam oleh detektor atau diolah oleh unit pemrosesan data atau komputer. Sedang pada mata manusia informasi dideteksi oleh retina dan disalurkan lewat saraf dan diproses diotak manusia.

Teropong optik dipergunakan sebagai alat pengamatan astronomi baru pada abad 17 (tahun 1609) oleh Galileo dan sebentar lagi tahun 2009 akan ada peringatan tahun Astronomi Internasional, memperingati 400 tahun penggunaan teleskop oleh Galileo. Kegiatan atronomi sebelumnya dilakukan melalui alat bantu non optik, observatorium non-optik juga berkembang, yang terkenal adalah teropong non-optik Sextan dengan diameter 40 meter yang dikenal dengan ilmuwan muslim Ulug Beg di Asia Tengah. Pada zaman pra-optik mata manusia sebagai andalan dalam pengamatan astronomi.

Mata manusia sebuah organ mahluk hidup yang berbentuk menyerupai bola, sebuah Cornea yang transparant terhadap cahaya dan dibalik Cornea terdapat lensa atau lensa kristal yang berperan untuk pencitraan. Dekat di depan lensa Dalam bola mata terdapat cairan dengan indek bias 1.33 (indek bias udara 1.0) seperti indek bias air, sedang lensa mempunyai indek bias sedikit lebih tinggi 1.4. Mekanisme pemfokusan mata bervariasi melalui power lensa (power P = n/f = n¢/f¢ dalam unit Diopter, D, n dan n¢ adalah indek bias dan f dan f¢ adalah fokus, power kornea sekitar 43 D dan power lensa sekitar 17 D, power total sistem mata 60 D) diatur oleh kontraksi otot secara reflek atau otomatis. Akomodasi mata untuk obyek dekat dengan berkontraksi dan meningkatkan power lensa. Bagian utama terletak 2 mm di belakang kornea, dan 22 mm dari bagian utama itu terdapat permukaan sensitif terhadap foton citra (photosensitive image) yang disebut Retina. Mata mempunyai bukaan yang bervariasi dengan cara mengatur lebar atau sempit bukaan Iris yang terdapat di depan lensa, di belakang kornea Mata. Melebar dan menyempit Iris juga diatur melalui mekanisme kontraksi otot secara refleks. Kontraksi Iris menolong mata bisa beradaptasi terhadap tingkat terang cahaya. Seperti dalam kamera terdapat aperture stop, lebar bukaan rana atau iris, Bukaan iris akan menentukan jumlah cahaya yang masuk ke dalam lensa mata, Iris merupakan aperture stop mata. Diameter bukaan iris antara 2 mm ( pada saat terang) hingga 8 mm (pada saat gelap), untuk kebanyakan kasus dipergunkaan bukaan iris 5 mm.

Mata mempunyai komponen yang sensitif terhadap cahaya terang dan cahaya redup, komponen itu terdapat pada retina.Retina terdiri dari komponen kecil detektor yang peka terhadap cahaya yang disebut dengan rods dan cones. Cones bertanggung jawab untuk penglihatan warna pada tingkat cahaya dengan intensitas tinggi, keadaan terang. Rods bertanggung jawab mendeteksi obyek dengan luminances rendah dan tidak dapat membedakan warna antara obyek yang lemah cahaya tersebut. (Oleh karena itu dalam keadaan redup atau gelap warna tak bisa dibedakan). Cones tergabung dalam bundel yang berlokasi di suatu titik dinamakan dengan fovea centralis atau fovea. Ketika mata menemukan obyek tertentu, difokuskan obyek pada fovea, dan pada titik ini mata mempunyai resolusi paling tinggi. Rods terletak di luar fovea dimana tak banyak terdapat cones, di fovea hanya terdapat sedikit rods yang menyulitkan penglihatan pada saat gelap, pandangan obyek kabur. Cones berkumpul di fovea, tiap cone mempunyai kemampuan melihat sudut ruang 0.5 menit, pada titik utama. Citra dapat dipisahkan mata bila citra terpisah dalam sebuah cone, bila tidak terpisah maka dua obyek akan terlihat sebagai sebuah obyek saja. Oleh karena itu mata dapat memisahkan 1 menit busur pada titik utama (dekat kornea, 2 mm di belakang kornea). Obyek berjarak d, bersesuaian dengan batas ambang resolusi sebesar 0.1 mm.

Ketajaman Visual acuity, menurun secara drastis di luar fovea. Limit difraksi bukaan pupil 4 mm – 5 mm.

Spektrum cahaya tampak ditujukan untuk panjang gelombang antara 400 hingga 700 nm, mata sensitive hingga sedikit di luar rentang panjang gelombang. Cone vission dikenal sebagai photopic atau bright-adapted vission paling sensitive terhadap cahaya hijau yang mempunyai panjang gelombang 550 nm. Emissi relatif matahari maksimum sekitar panjang gelombang 550 nm.

Pada saat cahaya senja sedikit cahaya matahari yang langsung mengenai mata, dan pada waktu itu hanya cahaya matahari yang disebar oleh angkasa Bumi, nampak lebih biru atau dekat dengan hijau. Rod (batang) yang lebih sensitif lebih sensitif terhadap biru dibanding dengan cone (kerucut). Keadaan tersebut dinamakan dengan scotopic atau dark-adapted vission.

Sistem mata manusia mempunyai keunggulan dalam menerima rentang intensitas signal informasi dari cahaya matahari yang sangat terang hingga bintang yang lemah cahayanya. Selain itu mata manusia juga mempunyai keterbatasan misalnya mengamati obyek langit yang lemah cahayanya atau daya pisah atau struktur detail benda langit. Pengukuran posisi benda langit dan kuat cahaya benda langit oleh mata bugil kurang presisi. Penemuan lensa dan penemuan teropong membuka cakrawala manusia dalam melihat obyek langit yang tidak bisa diamati oleh mata bugil manusia. Selain itu melalui teleskop juga bisa dilihat lebih rinci struktur benda langit.

PENGAMATAN BULAN SABIT DAN HILAL

Berapa ukuran sabit-Bulan yang paling tua sebelum ijtimak dan berapa ukuran sabit-Bulan yang paling muda setelah ijtimak yang masih bisa diamati dengan mata bugil? Suatu prestasi yang luar biasa bila anda melakukan pengamatan dengan sistematik tentang fase Bulan-tua dan fase Bulan-muda. Salah satu persoalan yang masih diperdebatkan dalam konteks penetapan awal bulan Qamariah adalah mencari kriteria ukuran Hilal, Bulan-sabit termuda yang bisa diamati oleh mata bugil. Kontroversi hasil pengamatan Hilal termuda dan pemilihan kriteria visibilitas Hilal untuk penentuan awal Bulan dalam kalendar Islam itu perlu diselesaikan melalui pengamatan Hilal dengan baik. Melalui teropong yang sederhana anda sangat diharapkan bisa melakukan telaah fenomena visibilitas Hilal. Teropong akan membantu mengkonfirmasi apakah hasil pengamatan mata bugil salah atau tidak. Sebaliknya melalui teropong bulan anda bisa dituntun untuk mengamati Hilal, karena obyek yang dapat diamati dengan mata bugil juga akan diamati melalui teleskop.

Jadual pengamatan bulan tua dan Hilal sebenarnya dapat dipandu dengan penanggalan Hijriah. Pada setiap awal Bulan Hijriah didahului dengan pengamatan Hilal pada malam sebelumnya. Di dekat ekuator Matahari terbenam pada jam yang hampir sama yaitu jam 6 sore, atau jadual waktu maghrib setempat dapat dipergunakan sebagai acuan waktu pengamatan Hilal. Untuk mengetahui dengan lebih detail tentunya dapat dipergunakan tabel astronomi pada the Astronomical almanac atau software astronomi. Untuk keperluan praktis perlu dipergunakan hasil perhitungan posisi Bulan dan Matahari yang akurat agar tidak membingungkan pada saat pengamatan di lapangan. Pengamatan Hilal memerlukan efisiensi waktu yang tinggi, waktu penampakan Hilal umumnya singkat sehingga perlu mengefisienkan penggunaan waktu yang sangat berharga tersebut.

Beberapa langkah untuk pengamatan Hilal

1. Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru

2. Waktu Matahari terbenam dan Bulan terbenam

3. Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari

4. Obyek terang (bintang terang, planet dls) di sekitar lokasi Bulan.

Perhitungan astronomi dapat membantu mengetahui posisi tinggi dan azimuth Bulan pada saat Matahari terbenam dengan lebih teliti, dapat diketahui data hisab antara lain:

1. Beda tinggi Bulan dan Matahari

2. Beda azimut Bulan dan Matahari

3. Jarak busur Bulan dan Matahari

4. Umur Bulan

5. Luas Hilal dsb.

Posisi Teleskop dalam rukyatul Hilal

1. Posisi Teleskop untuk konfirmasi apakah yang dilihat obyek yang sesungguhnya atau bukan (obyek lainnya).

2. Merekam data ilmiah Hilal (kecerlangan, bentuk, orientasi dsb), untuk keperluan databased pengamatan yang berkualitas

3. Untuk pendidikan masyarakat luas, mengenal Hilal dan benda langit lainnya dan sekaligus mengaktifkan patroli langit.

Teleskop merupakan sebuah intrumen optik yang dipergunakan untuk pengamatan benda astronomis. Hilal, sosok sabit Bulan tipis yang bisa diamati pertama kali, merupakan obyek langit yang dipergunakan dalam penetapan awal bulan Islam. Tradisi rukyatul Hilal dalam masyarakat Islam merupakan petunjuk kuat bahwa visibilitas fisik Hilal di langit adalah obyek penentu awal Bulan Islam (sejak abad 7). Penemuan teleskop optik abad 17 membuka cakrawala baru, melihat dunia yang tak nampak oleh mata bugil manusia, seperti kawah Bulan, bulan planit Jupiter, fasa planit Venus dsb. Peran teleskop dalam penyatuan awal Bulan Islam adalah membantu dalam pengamatan Hilal sehingga dapat dicapai obyektivitas hasil pengamatan Hilal.Tujuan pengamatan Hilal dengan bantuan teleskop agar dapat dicapai unifikasi persepsi obyek langit yang dinamakan Hilal, kesalahan persepsi tentang obyek lain yang dikira Hilal diharapkan bisa dihindari dengan baik dan absurditas hasil pengamatan Hilal dapat menjadi obyektifitas ilmu pengetahuan tentang Hilal yang lebih kokoh.

Sering ada pertanyaan Bulan termasuk obyek yang terang, seharusnya cukup diamati dengan mata bugil, mengapa teleskop diperlukan? Kondisi tersebut memang benar untuk sekedar melihat fase Bulan yang lberumur lebih dari 2 hari dan kurang dari 27 hari dari waktu ijtimak dalam satu lunasi Bulan. Diantara fase sabit bulan yang jarang bisa diamati adalah Hilal atau bulan tua, Hilal (sabit bulan 1–2 hari setelah ijtimak) dan sabit bulan tua ( 1 atau 2 hari sebelum ijtimak) tergolong obyek langit yang sulit diamati, kecerlangan sabit Bulan pada fase tersebut hampir sama dengan kecerlangan cahaya senja yang disebarkan oleh angkasa Bumi, oleh karena itu diperlukan keseksamaan dan perencanaan untuk mengetahui adanya sabit bulan-tua maupun Hilal. Obyektivitas sering digantikan dengan halusinasi dan kekeliruan dalam mengidentifikasi sabit Bulan yang tipis diantara awan tipis. Dalam hal ini teleskop diharapkan dapat membantu mengklarifikasi apakah obyek yang sedang dilihat sebuah Hilal, mengingat perbaikan kontras antara sabit Bulan yang tipis dengan cahaya senja atau cahaya fajar untuk Bulan tua dapat dilakukan lebih baik dengan mempertinggi fR = (F/d), F = fokus atau jarak titik api teropong dan d = diameter obyektif teropong. F-ratio, fR, merupakan indikator brightness (kecerlangan) pada bidang fokus teropong, bila diameter obyektif diperkecil misalnya dengan menutup sebagian permukaannya maka kecerlangan akan berkurang bergeser kebagian brightness yang tidak saturasi dan bisa dideteksi dengan lebih baik.

Pengamatan Hilal melalui teleskop tidak dipengaruhi oleh subyektivitas (kondisi psikologi dan mata pengamat) dengan independen membantu mengklarifikasi apakah yang diamati oleh mata bugil pengamat sebuah Hilal atau awan tipis, sehingga diharapkan pengamatan dan perekaman pengamatan dapat mengurangi keragu-raguan dan kekeliruan sebuah obyek yang dikira Hilal padahal bukan Hilal. Obyektivitas pengamatan Hilal akan lebih baik. Posisi teleskop dalam hal ini sebagai alat bantu, membantu mata pengamat dalam mengidentifikasi Hilal pada langit yang diterangi cahaya senja.

Teleskop dapat merekam kondisi langit barat pada arah pengamatan Hilal. Rekaman itu bisa menjadi pelajaran yang berharga memperluas pengetahuan manusia tentang visibilitas Hilal.

Pengamatan Hilal melalui teropong dapat merekam kondisi pengamatan Hilal dan dipelajari berulang kali, melalui film dan kamera-body atau perekam elektronik CCD dan komputer. Data semacam ini akan bermanfaat bagi generasi penerus yang ingin mengetahui tentang pengamatan Hilal dan sekaligus juga untuk memasyarakatkan pengamatan Hilal. Usaha pengamatan Hilal merupakan kontinuitas usaha mencari kriteria visibilitas Hilal yang lebih andal yang telah dilakukan berabad-abad. Dalam jangka panjang diharapkan pemahaman manusia tentang Hilal menjadi lebih baik dan menggunakan kriteria visibilitas Hilal yang lebih presisi unifikasi kalendar Islam, untuk keperluan ibadah dan keperluan umum, tansaksi dsb. Ketidak jelasan pemahaman tentang visibilitas Hilal menjadikan masalah pada proses unifikasi kalendar Islam yakni lahirnya pemikiran beragam (divergensi) defenisi Hilal penentu awal bulan Islam.

TELESKOP ASTRONOMI

Manusia mahluk yang sempurna mempunyai mata dan akal. Melalui rangsangan informasi yang datang lewat indera mata manusia diajak berkenalan dengan fenomena alam, manusia diajak mengenal alam semesta yang megah dan yang sangat luas. Mata mengenalkan ciptaan Allah yang jauh yang tak mungkin dicapai karena berbagai sebab. Penyebab utamanya adalah benda langit itu sangat jauh dan manusia tidak mempunyai kemampuan untuk terbang menjelajah mengunjungi ke benda langit yang sangat jauh itu. Misalnya jarak bintang-terang terdekat adalah bintang alfa Centauri, berjarak 4.5 tahun cahaya ( 1tahun cahaya = 9.4605293 x 1015 meter). Jarak galaksi sistem bermilyar bintang yang terjauh bisa mencapai 20 milyar tahun cahaya.

Sabit tipis Bulan yang terbentuk beberapa jam setelah ijtimak atau beberapa jam sebelum ijtimak merupakan obyek langit yang berperan menguji keterbatasan mata manusia dalam mengidentifikasi obyek langit. Tidak semua fisik sabit Bulan nampak oleh mata manusia. Manusia perlu mengetahui keterbatasan karunia mata manusia dengan ukurannya yang pas untuk sosok manusia sehingga informasi yang masuk melalui indera mata dapat dipergunakan untuk merangsang akal dan fikir manusia. Rangsangan ini akan memajukan pengetahuan manusia tentang hakekat ciptaan Allah yang maha kaya dan maha besar, maha cendekia. Rahasia ini seperti rahasia mengapa separuh wajah Bulan tak ditampakkan bagi manusia di planit Bumi, hanya dikarenakan periode rotasi Bulan dan periode edar Bulan mengelilingi Bumi sama yaitu 27.3 hari. Manusia perlu menggunakan akal dan fikirannya untuk mengetahui separuh wajah Bulan yang lainnya.

Teropong ibarat seperti mata mahluk hidup manusia. Lensa teropong lebih besar dibanding dengan lensa mata. Teropong Zeiss di Observatorium Bosscha seperti sebuah wajah dengan tiga mata, karena dilengkapi tiga lensa obyektif. Lensa cembung merupakan pilihan karena lensa ini menghasilkan bayangan sejati. Ukuran diameter dua buah lensa teropong Zeiss adalah 60 cm dan sebuah lagi hanya 40 cm.

Prinsip Optik teropong dikembangkan berdasar oleh penemuan yang diinspirasikan dengan cara tak disengaja, anak-anak bermain menggunakan pasangan lensa untuk melihat sarang burung di atas pohon yang tinggi. Berbagai prinsip dasar optik diantaranya adalah refraksi, pembiasan atau pembelokan, pada sistem optik lensa, refleksi atau pemantulan, pada sistem optik cermin.

Ada tiga tipe teleskop yaitu Refractors, Reflectors and Catadioptrics. Walaupun demikian fungsinya sama yaitu mengumpulkan berkas cahaya dan melakukan pencitraan dengan memfokuskan berkas cahaya pada bidang focus dari masing – masing system optic.

Contoh sistem optik:

1. Refraktor (Refractors)

2. Schmidt-Cassegrain (Catadioptrics)

3. Cassegrain (Ritchey-Critien) (Reflectors)

4. Newtonian

Refractor :

Keuntungan:

  • Sederhana dan mudah dibuat untuk ukuran kecil
  • Tidak memerlukan perawatan yang mahal
  • Excellent for lunar, planetary and binary star observing, especially in larger apertures;
  • Good for distant terrestrial viewing;
  • Offer high-contrast images with no secondary mirror or diagonal obstruction;
  • Render good color in achromatic designs and excellent in apochromatic, fluorite and ED designs;
  • Sealed optical tube reduces image-degrading air currents and protects optics,
  • Have permanently mounted and aligned objective lenses.

Kerugian:

  • More expensive per inch of aperture than reflector or catadioptrics designs;
  • Heavier, longer and bulkier than equivalent-aperture reflectors and catadioptrics;
  • Cost and bulk factors limit the maximum practical aperture size,
  • Less suited to viewing small and faint deep-sky objects because of practical aperture limitations.

Reflectors usually use a concave, parabolic primary mirror to collect and focus incoming light onto a flat secondary mirror that in turn reflects the image out of an opening at the side of the main tube, into an eyepiece for viewing.

Advantages

  • Lower cost per inch of aperture than offered by refractors and catadioptrics, since mirrors can be produced at less cost than lenses in refractors in medium to large apertures;
  • Reasonably compact and portable;
  • Excellent for faint, deep-sky objects, such as remote galaxies, nebulae and star clusters, because of their larger apertures,
  • Deliver very bright images with few optical aberrations.

Disadvantages

  • Generally not suited to terrestrial observation,
  • Slight light loss due to obstruction from the secondary mirror.

Catadioptrics use a combination of mirrors and lenses to fold the light and form an image. Catadioptrics are the most popular type of instrument, with the most modern design, marketed throughout the world in apertures of 3.5 inches and larger. There are two popular designs of these mirror/lens “hybrids,” the Schmidt-Cassegrain and the Maksutov-Cassegrain. In the Schmidt-Cassegrain the light enters through a thin, aspheric Schmidt correcting plate, then strikes the spherical primary mirror and is reflected back up the tube, where it is intercepted by a small, secondary mirror. This reflects the light out an opening in the rear of the instrument to form an image at the eyepiece

Schmidt-Cassegrain Advantages

  • Best all-purpose telescope design, combining the optical advantages of both lenses and mirrors, while canceling their disadvantages;
  • Excellent optics with razor-sharp images over a wide field;
  • Excellent for deep-sky observing or astrophotography with fast films or CCD imagers;
  • Very good for lunar, planetary and binary star observing or photography;
  • Excellent for terrestrial viewing or photography;
  • Closed-tube design reduces image-degrading air currents;
  • Compact and portable;
  • Easy to use;
  • Durable and virtually maintenance-free;
  • Offer large apertures at reasonable prices – less expensive than equivalent-aperture refractor designs;
  • Greater accessory availability than is the case with other types,
  • Best near-focus capability of all designs.

Schmidt-Cassegrain Disadvantages

  • More expensive than reflectors of equal aperture;
  • It is not what people expect a telescope to look like,
  • Slight light loss due to obstruction by the secondary mirror.

Sistem optik umumnya mempunyai bukaan atau lensa obyektif dalam sistem teropong refraktor, iris pada sistem optik mata manusia. Batas ambang teleskop refraktor, bergantung pada bukaan sistem optik tersebut, makin luas atau makin lebar makin banyak foton cahaya yang bisa dikumpulkan persatuan waktu oleh permukaan tersebut dan kemudian di fokuskan pada bidang fokus atau titik api. Light graps adalah ukuran kuantitas foton dari sumber cahaya (bintang, matahari, bulan atau Hilal dsb) yang dikumpulkan lewat proses pemfokusan berkas cahaya pada bidang fokus. Pendekatan sederhana dibandingkan antara pupil mata dengan obyektif teleskop untuk mengetahui batas ambang sebuah teleskop. Batas ambang mata untuk melihat point source dapat diperoleh melalaui eksperimen melihat langsung ke langit. Nisbah light graps pupil mata terhadap teleskop, XLG, dapat didekati sebagai berikut:

XLG = (D/d)2p

D diameter obyektif teleskop, d diameter pupil mata dan p perbandingan faktor transmisivitas sistem optik. (untuk sistem teleskop, sekitar 60% - 65% cahaya yang dikumpulkan pada permukaan difokuskan pada bidang fokus, yang lainnya hilang melalui proses diserap oleh lensa, dopantulkan kembali oleh permukaan lensa, dan mungkin ketidak sempurnaan permukaan). Bila dipergunakan perbesaran M maka perbanding brigthness teleskop terhadap exit pupil menjadi (D/d)2p x (1/M2).

Sistem optik dengan bidang fokus pada bagian bawah obyektif di luar konfigurasi sistem optik teropong merupakan pilihan yang tepat untuk pengamatan Hilal. Diantaranya teropong Refraktor yang menggunakan lensa obyektif untuk pencitraan atau Schmidt-Cassegrain. Teropong portable yang bisa dipergunakan pengamatan Hilal diberbagai tempat (tidak permanen) juga merupakan pemilihan untuk meminimalkan perawatan rumah teropong dan membuat program pengamatan Hilal yang lebih fleksibel. Teropong permanen mempunyai keuntungan lain, mengurangi resiko kerusakan akibat bongkar-pasang dan mungkin juga getaran selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Skala pada bidang fokus juga perlu diperhatikan, titik api obyektif yang panjang bisa menyebabkan seluruh bundaran Bulan tidak dapat masuk ke dalam medan detektor atau medan lihat teropong. Skala pada bidang fokus:

s = (206265 ²/ F(mm))

Jadi kalau ukuran perekaman citra film komersial adalah 37 x 24 mm, dan diameter sudut Bulan 32’, maka agar bundaran bulan seluruhnya masuk ke dalam bingkai film, fokus teropong adalah (32 x 60²)/24 mm = (206265 ²/ F(mm)), F = 2578.3 mm

Jadi F maksimal teropong sekitar 2.5 meter, agar seluruh bundaran bulan bisa masuk dalam bingkai. Bila ukuran detektor elektronik lebih kecil maka ukuran F yang lebih kecil diperlukan, agar seluruh bundaran bulan bisa direkam secara simultan. Makin panjang titik api makin diperlukan motor penggerak teleskop untuk mengikuti gerak Bulan pada medan teropong. Bila teleskop mempunyai titik api atau fokus yang pendek dapat memperpanjang titik api dengan bantuan lensa Barlow 1.5 kali atau 3 kali atau yang terlalu panjang dapat mempergunakan lensa focal reducer. .

Ukuran teleskop, tidak usah terlalu besar

1. Field of view dapat memuat seluruh bundaran bulan, sekitar 32’ busur.

2. Kontras, untuk membedakan antara citra Hilal dengan cahaya senja latar belakang, atau bulan tua dengan cahaya fajar

KONDISI HILAL

Hilal merupakan sabit Bulan yang tipis dan pertama kali bisa dikenali oleh mata bugil manusia setelah fenomena ijtimak berlangsung. Pada saat fenomena ijtimak posisi Bulan dan Matahari sangat berdekatan sehingga tidak memungkinkan dilihat oleh mata manusia. Posisi Bulan dan Matahari berkisar dalam radius 5 derajat.. Kondisi kecerlangan langit, pada saat posisi matahari telah terbenam, 6 derajat di bawah horizon (civil twilight) mencapai 3.0 x 10-1 foot candle (1 foot candle = 10.76 lumen m-2 = 10.76 lux , 1 lumen = 1 lm = 0.0014705882 watt (W) pada panjang gelombang 5550 Angstrom = 555 nano meter (nm) = 0.555 mikrometer (mm)) atau 4.747 x 10-3 W m-2. Dalam skala terang, magnitudo visual (panjang gelombang efektif 5450 Angstrom = 545 nano meter (nm) = 0.545 mikrometer (mm) dan kerapatan fluks untuk magnitudo Visual nol ekivalen dengan 3.631 x 10-8 watt m-2 mm-1 ) adalah V = –12.79. Selain itu untuk cahaya langit senja Nautika (posisi matahari 12 derajat di bawah horizon) dan senja Astronomi (posisi matahari 18 derajat di bawah horizon) masing-masing mempunyai kecerlangan 9 x 10-4 foot candela (1.424 10-5 W m-2 atau V = -6.48) dan 6 x 10-5 foot candela ( 9.494 x 10-7 W m-2 atau V= -3.54). Cahaya langit siang dengan kecerlangan maksimum 16 000 lumen m-2 (23.529 W m-2 atau V = -22.03 (bandingkan dengan matahari V=-26.5 )) dan cahaya langit dengan kecerlangan maksimum bulan purnama 0.4 lumen m-2 (5.882 x 10-4 W m-2 atau V = -10.52 (bandingkan dengan bulan purnama V=-12.73). Pada saat Bulan berada pada jarak 20 derajat (f (a = 20°) = 0.001 atau F = 3%) dari Matahari (atau berusia 2 hari (48 jam) setelah ijtimak) V= -5.2 (V = 5 log d D + V(1,0) – 2.5 log f (a), d = jarak Matahari-Bulan dengan unit Satuan Astronomi (1 Satuan Astronomi = 1 SA = 1.49597870 x 1011 meter sekitar 150 juta km), D = jarak Bumi–Bulan dan d D = 0.0026, V(1,0) = skala terang (magnitudo) visual V pada jarak d D = 1 dan a = 0° atau saat oposisi, V(1,0) = +0.23). Oleh karena itu Bulan dengan usia 2 hari bisa dengan mudah diamati dalam rentang waktu senja Nautika dan senja Astronomi, karena kecerlangannya diantara kecerlangan langit senja Nautika dan senja Astronomi.

Tabel 1

Illuminasi Horizon (rata-rata) fungsi dari jarak zenit Matahari

(harga dalam tabel 1 lebih rendah dari estimasi dalam diskusi di atas)

Jarak Zenit Mthr (°)

Illuminasi Horizon (lux, lumen per m2)

Jarak Zenit Mthr (°)

Illuminasi Horizon (lux, lumen per m2)

0

135000

90

550

45

86900

91

280

50

56800

94

15

60

41800

96

1.6

70

25000

97

0.54

80

10400

98

0.19

85

5000

100

0.031

89

980

106

0.0018

Tabel 2

Pelemahan cahaya pada panjang gelombang Visual

fungsi terhadap jarak Zenit atau tinggi benda langit

Jarak Zenit (z),

Z(°) = 90° - h(tinggi)

h (tinggi)

(°)

DmV

60

30

0.23

70

20

0.45

75

15

0.65

80

10

0.99

85

5

1.77

87

3

2.61

Bagaimana dengan Hilal yang kurang dari 2 hari? Untuk a = 170° ( F = 0.7 %), sabit Bulan yang sangat tipis. Pelemahan cahaya pada sabit Bulan yang dikategorikan Hilal terjadi sangat berarti melemah menjadi 1 skala terang atau lebih, bila hal ini terjadi maka Hilal tak mungkin bisa mengalahkan cahaya langit senja astronomi, bisa lebih lemah dari V = -3.7.

Saat gerhana matahari total apakah mungkin melihat sabit Bulan yang tipis saat Matahari dekat zenith. Kondisi yang ideal adalah saat momen gerhana matahari total yang berlangsung pada lokasi dekat zenit seperti pada saat Gerhana Matahari Total 11 Juni 1983 (ijtimak akhir Sya’ban 1403 H) yang pernah berlangsung di Jawa Tengah. Kondisi di dekat zenit akan mengurangi serapan oleh angkasa bumi dan uap air. Fenomena melihat sabit Bulan setelah gerhana Matahari total atau gerhana Matahari Cincin belum atau tidak mungkin dilakukan walaupun posisi pengamatan obyek langit di dekat zenit, karena cahaya matahari terlalu kuat. Umumnya sabit bulan yang memungkinkan diamati dengan mata bugil saat Matahari masih ada di atas horizon adalah Bulan sekitar 3 hari setelah ijtimak. Pengamatan Hilal yang konvensional setelah matahari terbenam dan Bulan masih di atas ufuq saat matahari terbenam.

1. Senja sipil, bila kedudukan Matahari mempunyai jarak zenit 91° < z < 96°. Dalam ukuran waktu bervariasi terhadap lintang geografis tempat pengamat dan deklinasi Matahari. Secara umum untuk lokasi –10° < f < +10° berkisar dari Matahari terbenam hingga 20 – 24 menit setelah Matahari terbenam. Kecerlangan langit merentang antara 16 foot candle hingga 3.0 x 10-1 foot candle.

2. Senja Nautika, bila kedudukan Matahari mempunyai jarak zenit 96° < z < 102°. Dalam ukuran waktu bervariasi terhadap lintang geografis tempat pengamat dan deklinasi Matahari. Secara umum untuk lokasi –10° < f < +10° berkisar dari batas akhir senja Civil hingga 44 – 50 menit setelah Matahari terbenam. Kecerlangan langit merentang antara 3.0 x 10-1 foot candela hingga 9 x 10-4 foot candela.

3. Senja Astronomi, bila kedudukan Matahari mempunyai jarak zenit 102° < z < 108°. Dalam ukuran waktu bervariasi terhadap lintang geografis tempat pengamat dan deklinasi Matahari. Secara umum untuk lokasi –10° < f < +10° berkisar dari batas akhir senja Nautika hingga 69– 77 menit setelah Matahari terbenam. Kecerlangan langit merentang antara 9 x 10-4 foot candela hingga 6 x 10-5 foot candela.

Masalah visibilitas Hilal adalah kontras antara kecerlangan sabit bulan terhadap kecerlangan langit senja. Kecerlangan langit senja berubah terhadap waktu atau perubahan kedudukan jarak zenit matahari setelah matahari terbenam hingga hilangnya senja astronomi. Sedang sabit Bulan bertambah brightness walaupun sedikit dalam selang waktu hilangnya senja.

Hilal paling Muda?

Pepin (1996, Sky Telescope vol 92, Des 1996 p 104-106) melaporkan pengamatan Hilal penentu awal Ramadhan 1417 H pada tanggal 20 Januari 1996 dari Sentinel, Arizona (110° 57¢ 52².20 BB, + 32° 25 ¢ 12².72 LU, zone time 8 jam lebih lambat dari UT) kondisi Hilal F = 0.6 % dan hBulan = +6° 34¢ 45². Hilal termuda ini mempunyai umur 12 jam 07 menit.

Hilal paling tipis? Hilal paling rendah?

Pengamat Hilal Zaki A. al Mostafa dan Moataz N. Kordi (Observatory, February 2003, p 49-50) dari King Abdulazis City for Science and Technology and Geophysical Research (KACST) melaporkan pengamatan Hilal penentu awal Muharram 1423 H, pada hari Jum’at tanggal 14 Maret 2002 di Laban (46° 27¢ BT dan +24° 36¢ LU, beda time zone dengan UT, + 3 jam). 30 km barat Riyadh, Hilal dengan usia 12 jam 58 menit (saat Matahari terbenam), Hilal diamati 5 menit setelah Matahari terbenam (18:07 LT atau 15:07 UT). Ijtimak akhir Dzulhijjah 1422 H terjadi pada 14 Maret 2002 jam 05:04 LT (02:04 UT). Kondisi langit saat pengamatan Hilal di Laban 14 Maret 2002 dikabarkan baik, 2 jam sebelum Matahari terbenam (18:02 LT atau 15:02 UT) dapat mengamati Sirius, Betelgeuse dan Rigel. Hilal, sabit Bulan yang tipis tidak patah-patah, tanduk Hilal sukar didiskripsikan. (F » 0.5% dan hBulan = +4° 09¢ )

Pengujian batas ambang yang ditemukan Dajon (1930) (pembahasan detail dapat dilihat dalam Purwanto, 1992), kriteria penampakan Hilal yang telah diformulasikan dan keberhasilan yang luar biasa dibeberapa tempat seperti yang pernah dicapai oleh Julius Schmidt (Bulan 15.4 jam) dan Robert C. Victor (Bulan 13 jam 28 menit dapat dilihat dengan binokuler) perlu di uji di tempat yang berbeda seperti di Indonesia. Begitupula pengujian keberhasilan pengamatan Hilal yang lebih sulit oleh team KACST dan Pepin (1996). Hasil pengamatan tidak bisa segera dilihat. Pengamatan yang konsisten dalam jangka panjang akan mengumpulkan data yang berguna untuk mendeteksi pengaruh variasi musim terhadap visibilitas Hilal. Tujuan akhir untuk menyelesaikan atau memperkecil kontroversi dalam pengamatan Hilal termuda.

CATATAN PENGAMATAN HILAL

Hilal termuda atau Bulan sabit termuda yang bisa diamati dengan mata bugil setelah ijtimak/konjungsi masih merupakan objek buruan dalam penentuan awal Bulan Islam. Selain itu sebagian pemburu Hilal yang lain tertarik berburu Hilal termuda untuk dapat memecahkan records/prestasi pengamatan Hilal termuda yang pernah dicapai sebelumnya dan sebagian

yang lain tertarik berburu Hilal untuk memperkaya dunia ilmu pengetahuan.

Sulitnya mendeteksi Hilal dengan mata bugil dikarenakan kedudukan Bulan berdekatan dengan Matahari dan terang Hilal masih terlalu lemah dibanding dengan terang angkasa Bumi yang menyebar cahaya Matahari.

Rentang dinamik terang Hilal dan terang langit tidak mudah dijangkau oleh mata manusia yang secara reflek pupil mata mengatur jumlah energi foton yang masuk pada retina. Pada saat langit terang difragma mengecil dan berarti makin sedikit foton cahaya Hilal yang sampai ke retina mata dan makin sulit untuk dikenali oleh mata manusia.

Untuk pengalaman praktis dapat dilakukan pengamatan Bulan kesiangan atau Bulan tua pada saat pagi sebelum Matahari terbit dan setelah Matahari terbit, makin tua umur Bulan makin sulit dikenali di langit walaupun pada saat Matahari belum terbit objek tersebut dengan mudah dikenal oleh mata bugil. Pengamatan sistematis akan memberi informasi telaah batas ambang visibilitas Hilal. Oleh karena itu pengamatan Hilal menunggu kesempatan meredupnya senja Bulan masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin banyak foton dari cahaya Hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek.

Berapa batas ambang pengenalan objek oleh mata manusia yang normal? Apakah batas ambang tersebut sama untuk semua manusia kalau tidak berapa besar deviasinya ? Kesempatan untuk mengamatinya sangat singkat hanya beberapa menit setelah Matahari terbenam karena pada saat ijtimak kedudukan Bulan dan Matahari di langit sangat berdekatan. Kondisi kecerahan langit di

dekat horizon umumnya relatif jelek dibading dengan cuaca di dekat zenit. Hal ini dapat dimengerti karena arah pandang mata manusia ke horizon akan menembus lapisan angkasa Bumi yang lebih tebal dan berakibat lebih banyak mengamati ketidak stabilan angkasa. Awan tipis juga akan banyak menghadang arah pandang manusia ke objek langit di arah horizon. Beberapa persaratan tentang keberhasilan dalam pengamatan Hilal diketahui dari pengalaman pengamatan Hilal dan

pengetahuan yang bertautan dengan penampakan Hilal. Antara lain Bulan berada di atas horizon pengamat setelah Matahari terbenam, luas Hilal lebih dari 1%, tinggi Hilal lebih tinggi 4 derajat (sampai 10 derajat) bergantung pada beda azimut Bulan dan Matahari, makin dekat dengan

Matahari semakin tinggi persaratan kedudukan Hilal pada saat Matahari terbenam agar memungkinkan bisa dilihat atau umur Bulan tidak kurang dari 14 jam setelah konjungsi. Persaratan itu ada yang masih perlu dikonfirmasi dan diuji di tempat lain, di Indonesia misalnya. Koleksi catatan (yang benar, cermat dan lengkap) tentang keberhasilan, ketidak berhasilan atau keragu-raguan pengamatan Hilal merupakan informasi dasar yang sangat penting untuk menentukan analisa penentuan kriteria penampakan Hilal.

Hilal diamati dengan mata bugil manusia lewat jendela informasi visual. Mata bugil sebagai detektor mempunyai sensitivitas yang sama daerah visual, kecuali pada malam hari sensitivitas bergeser ke arah merah. Kontras Hilal terhadap latar depan langit senja sangat lemah. Seberapa jauh kesanggupan mata sebagai detektor sanggup memilah cahaya Hilal dan cahaya senja?.

Daya tarik Hilal termuda atau Bulan tertua yang bisa diamati oleh mata bugil manusia karena jarang sekali ditemui penampakannya. Bagi pemerhati langit akan cepat sekali mengukur prestasi dan pengalamannya untuk bisa melihat tandan Bulan yang lebih tipis dari biasa yang pernah dilihatnya. Ada perasaan kepuasan dalam memecahkan rekord termuda maupun tertua. Akibat daya tarik ini kadang-kadang laporan pengamatan Hilal kurang akurat dan meragukan. Hal semacam ini tidak terjadi di Indonesia saja di luar negeri seperti di Inggris atau di Amerika bisa terjadi contoh tentang persoalan pengamatan Hilal di luar negeri bisa di lihat dalam Schaefer, Ahmad dan Dogget (1993).

Karena menarik perhatian banyak orang sehingga banyak yang berpartisipasi secara amatiran secara tidak sengaja dan lebih serius untuk mencari Hilal karena bisa memecahkan record yang pernah dicapai manusia sebelumnya. Selain itu juga para pemburu komet pada senja hari biasanya dengan tidak sengaja bisa mengamati Bulan yang sangat tipis tersebut, karena pengamatannya terhadap langit sangat intens.

Pengamatan Hilal dengan mata bugil secara sistematis dan diberbagai tempat perlu dilakukan dan dibahas lebih komprehensif dan didiskusikan dalam suatu forum atau kelompok pemburu hilal atau situs internet baik keberhasilan maupun ketidak berhasilannya. Upaya perbaikan dalam persiapan mental metodologi dan sebagainya perlu terus dikembangkan agar tradisi ini mempunyai makna bagi ilmu pengetahuan maupun bagi keperluan agama.

PROFESIONALISME DALAM PENGAMATAN HILAL

Hilal termuda merupakan objek langit yang sulit diamati dengan mata bugil, tipis cahanya di batas ambang kemampuan daya lihat mata bugil manusia. Sorotan khusus bagi pengamat yang berhasil mengamati Hilal termuda menjadi lumrah. Pertanyaan yang sering muncul apakah objek yang berhasil diamati benar Hilal atau objek yang lain yang disangka Hilal? Kekeliruan itu mungkin terjadi. (Bagi yang tidak berhasilpun seharusnya perlu dipertanyakan mengapa tidak berhasil?)

Pengamat Hilal sebaiknya tidak mempunyai beban perasaan untuk bisa berhasil atau tidak berhasil dalam mengamati Hilal. Berhasil atau tidak semuanya punya peluang yang sama. Ragu-ragu pun juga sebuah hasil dari pengamatan, tidak usah dipaksakan. Kejujuran dan judgement

yang tepat dalam pengamatan Hilal sangat penting, karena akan berpengaruh pada kwalitas koleksi data pengamatan Hilal. Koleksi data pengamatan itu merupakan investasi ilmu pengetahuan masa depan (dunia akherat) dan sekaligus memperjelas persoalan kontroversi pengamatan Hilal. Beban perasaan pengamta itu biasanya akan lahir pada pengamatan

Hilal akhir Sya'ban, akhir Ramadhan dan akhir Dzulkaedah.

Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal (misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.

Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.

Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan

mata bugil masih akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.

TELESKOP DAN PEMOTRETAN HILAL

Pengabadian Hilal akan bermanfaat untuk dapat memperoleh gambaran bagi pemula yang ingin menekuninya. Selain itu juga akan bermanfaat untuk bahan diskusi Hilal termuda yang mungkin bisa diabadikan. Untuk keperluan praktis penggunaan teleskop kecil yang dilengkapi dengan interface kamera dan perlengkapan kamera tabel pemotretan Bulan (Rose, 1993) pada tabel 5 dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun perlu diingat keadaan cuaca di dekat horizon perlu dipertimbangkan untuk penentuan lama pemotretan. Variasi beberapa tempo pemotretan sebaiknya dilakukan apabila waktunya memungkinkan. Pengalaman pemotretan Hilal (objek yang tergolong sulit) perlu dicari dan digali terus untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi. Pointing teleskop yang cermat diperlukan untuk bisa dengan cepat menemukan Hilal.

Hasil pemotretan Hilal yang tipis dapat dilihat dalam majalah astronomi Sky and Telescope atau yang lainnya. Sebagai contoh misalnya Ashbrook (1971),(1973), (1972),(1978) dan (1979), di Cicco (1989).

Hasil pengamatan hilal yang profesional itu diharapkan akan memperjelas perbedaan defenisi dan persepsi hilal dalam masyarakat Islam. Seperti keragaman defenisi Hilal di Indonesia hingga saat ini:

1. Semua sabit Bulan setelah ijtimak atau konjungsi dan pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak, posisi Bulan masih di atas horizon. Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > 0% dan tinggi Bulan hBulan > 0° pada saat t = waktu matahari terbenam.

2. Sabit Bulan yang bisa diamati mata bugil manusia pertama kali setelah ijtimak.. Secara implisit pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak. Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > Fkritis ( F > 0.7%-1%) dan tinggi Bulan hBulan > hKritis dan hKritis > 0° pada saat t = t0 + Dt . t = waktu melihat Hilal, t0 = waktu matahari terbenam dan Dt = selang waktu antara penampakan Hilal dengan waktu Matahari terbenam.

3. Sabit Bulan dengan kriteria kesepakatan, misalnya sabit Bulan setelah ijtimak mempunyai ketinggian 2° pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak. (dsb). Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > 0% (??) dan tinggi Bulan hBulan > 2° pada saat Matahari terbenam.

4. Sabit Bulan Halusinasi. (a) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan terbenam serta Hilal. (b) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam. (c) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung.

Keakraban dengan teleskop dan asesoriesnya:

1. Perlu sering mengenal, memegang serta mengoperasikan dengan tangan sendiri

2. Jangan takut mencoba, pahami dan lakukan percobaan

3. Latihan ketrampilan anda, prosedur benar dan tepat

4. Perlu mempertinggi penggunaan teleskop, untuk pendidikan, pengamatan astronomi maupun eksperimen

Text dari Meade

An extremely useful tool every amateur astronomer should have is a Barlow Lens. The Barlow lens was invented by Peter Barlow (1776-1862) an English writer on pure and applied mathematics. A Barlow lens is a concave lens that when placed between a telescopes objective lens or mirror and the eyepiece, will increase the magnification of the telescope.

A Barlow lens will connect directly to your eyepiece. The most common Barlow is the 2x Barlow. A 2x Barlow will double the magnification of the eyepiece it is attached to. For example, if you were using a 20mm eyepiece on a telescope with a 1000mm focal length, you would have 50x magnification. If you attach a 2x Barlow lens to that eyepiece you will double the effective magnification of that eyepiece to 100x.One of the greatest advantages of a Barlow lens is that it not only will double the magnification – it will effectively double your eyepiece collection! If you had a 32mm 26mm and 10mm for example, adding a 2x Barlow would be like owning a 32mm 26mm 16mm 13mm and 5mm. A Barlow is much more cost effective, as it is usually less than the price of 1 eyepiece!

Kenali apa arti perbesaran yang tertera pada lensa okuler, cobakan untuk satu obyek yang sama misalnya kawah Bulan. Sebagai contoh (tidak harus persis sama) misalnya

TELESKOP BULAN MODEL 60800

Eyepiece (Okuler)

Magnification (Perbesaran)

Magnification with 1.5 x Erecting Eyepiece (Perbesaran dengan menggunakan lensa Barlow 1.5x)

Magnification with 3 x Erecting Eyepiece (Perbesaran dengan menggunakan lensa Barlow 3 x)

H20mm

40 x,

60x

120x

H12.5mm

64 x,

96x

192x

SR4mm

200 x,

300x

600x

Mengenal karakteristik : Eyepiece H20mm

Medan lihat lingkaran dengan diameter 0.75 derajat ( 45 menit busur), seluruh bundaran Bulan purnama nampak dalam medan lihat teleskop, feature pola global Bulan nampak jelas dan tajam, kawah Bulan belum bisa nampak dengan jelas. Karena medan lihatnya agak luas dibanding dengan eyepiece lainnya, punya kesempatan agak lama untuk melihat Bulan yang bergerak melintas dalam medan lihat teleskop karena rotasi Bumi melalui okuler teleskop. Pengatur halus arah ketinggian teleskop dapat mengendalikan citra Bulan Bulan

Mengenal karakteristik: Eyepiece H12.5mm

Medan lihat lingkaran dengan diameter 0.50 derajat (30 menit busur), medan lihat teleskop seukuran bundaran Bulan purnama, seluruh bundaran Bulan purnama nampak menutupi seluruh medan lihat teleskop, feature atau pola citra global Bulan nampak jelas dan tajam, kawah Bulan nampak jelas. Getaran tangan nampak sangat berpengaruh dalam pengarahan obyek dalam medan teleskop, menyulitkan dalam pengarahan obyek dalam medan teleskop.

Mengenal karakteristik: Eyepiece SR4mm

Medan lihat lingkaran dengan diameter 0.25 derajat, seluruh bundaran Bulan purnama nampak menutupi seluruh medan lihat teleskop, feature atau pola citra global Bulan nampak jelas dan tajam, kawah Bulan nampak jelas. Pengaruh getaran tangan dalam mengarahkan obyek nampak sangat kuat, menyulitkan dalam pengarahan obyek dalam medan teleskop.

Mengenal karakteristik: Eyepiece H20mm

Magnification with 1.5 x Erecting Eyepiece (Perbesaran dengan menggunakan lensa Barlow 1.5x) untuk melihat kawah Bulan dengan lebih jelas.

Bagan teleskop Utama

Kadang – kadang sebuah teleskop dilengkapi dengan sebuah teleskop yang lebih kecil dan lebih ringan di tempel pada badan teleskop utama, teleskop itu biasanya dinamakan Finder Telescope. Medan lihat dapat berupa sebuah lingkaran dengan diameter sekitar 5 derajat. Fungsinya untuk mengarahkan obyek ke medan lihat teleskop. Di tengah medan lihat terdapat Cross wire atau benang silang, yang diperuntukkan membantu meletakkan posisi relatif obyek yang akan dilihat pada medan lihat teleskop utama. Alignment optik diharapkan sejajar sempurna.

1. Kontrol Arah Ketinggian

Bumi berotasi dari barat ke timur. Bagi pengamat di permukaan Bumi benda langit (bintang, Bulan, planit dsb) melintas dari Timur ke Barat. Begitu pula untuk teropong statis tanpa mesin penggerak yang bisa mengikuti gerak harian benda langit, benda langit akan dengan cepat melintas dalam medan teropong. Dalam konstruksi teropong alta-azimut, kedudukan benda langit dinyatakan dengan tinggi dan azimut. Setiap waktu kedudukan tinggi dan azimut berubah dan kontrol arah ketinggian berfungsi untuk mengatur ketinggian benda langit selama pengamatan.

2. Pengatur Fokus

Ketajaman citra benda langit yang optimal bila citra terletak pada bidang fokus benda langit tersebut. Tiap benda langit mempunyai bidang fokus yang bergantung pada jarak benda langit terhadap teleskop. Untuk mencari bidang fokus masing-masing benda langit dipergunakan pengatur fokus. Dengan cara memutar ke arah depan atau belakang dapat dicari citra yang paling tajam.

3.Tabung Fokus

Tabung fokus ini merupakan interface/penyambung/penghubung antara okuler dengan lokasi bidang fokus lensa objektif teropong.

4. Prisma Pemantul

Prisma Pemantul Agar mudah dilihat dengan mata diperlukan prisma dengan sudut kritis.

5. Eyepiece (Lensa Okuler), untuk keperluan melihat secara langsung citra benda langit yang sedang diamati. Kombinasi antara fokus Okuler dan fokus Obyektif (lensa teropong utama) menghasilkan perbesaran sudut tertentu (lihat pada tabel), makin besar perbesaran sudut makin kecil medan lihat teleskop. Okuler dapat diganti sesuai dengan kebutuhan pengamat. Untuk keperluan pengajaran pemula agar mengenal teleskop sebaiknya dipergunakan okuler bermedan luas, perbesaran minimal.

6. Finderscope Bracket (Pemegang Teropong Pencari)

7. Finderscope (Teropong Pencari), mempunyai benang-silang (cross-wire) berfungsi untuk menandai lokasi benda langit agar bisa diamati oleh teleskop utama yang bermedan pandang lebih kecil. Diameter Medan lihat sekitar 5 derajat. Jangan sekali-kali diarahkan pada Matahari, lensa bisa pecah, mata yang melihat Matahari melalui teleskop akan terbakar dan menimbulkan cacad permanen kebutaan.

8. Badan/Tabung Teleskop Utama, berfungsi untuk menyangga dan melindungi lensa obyektif dari debu dan panas. Selain itu juga untuk melindungi kontaminasi cahaya non-obyek yang berasal dari arah samping teleskop.

9. Pelindung Cahaya Matahari, agar lensa tidak terkena panas Matahari secara langsung.

10. Lensa Obyektif

Dijaga kebersihannya agar kualitas citra benda langit yang dihasilkan bisa yang terbaik. Bila terjadi pengembunan pada objektif maka citra bisa kabur.

11. Yoke Locking screw (Skrup Pengencang badan Teleskop pada Pemikul Teleskop), tidak terlalu kencang, memudahkan gerak teleskop, namun teleskop masih terkendali.

12. Knop Pengunci pada pengatur ketinggian, Saat mencari obyek langit knop pengunci dikendorkan secukupnya dan bila obyek telah memasuki medan lihat teleskop bisa dikencangkan secukupnya.

13. Yoke atau penyangga teleskop, memungkinkan mengamati obyek langit pada horizon dari tempat tinggi. (horizon ini lebih rendah sekitar sudut DIP atau kedalaman horizon). Formula kedalam horizon adalah sebagai berikut:

14. Knop Pengunci arah Azimut, memungkinkan dan mempermudah teleskop mengamati obyek di segala penjuru arah langit.

15. Bagian Kepala/AtasTripod

16. Tempat Penyimpanan Accessory (lensa okuler atau eyepiece). Selama pengamatan sebaiknya tidak meletakkan eyepiece pada tempat ini, karena dikhawatirkan akan terjadi pengembunan.

17. Kaki Tripod, perlu diperiksa dengan baik apakah fondasi tempat berdirinya tripod sudah kokoh, tidak mudah jatuh atau tidak berdiri di tempat yang labil misalnya tanah yang basah dan lembek.

18. Tapal Kaki Tripod terbuat dari Karet, berguna agar tripod tidak mudah tergelincir.

Prosedur untuk Memasang teleskop

1. Bawa teleskop dalm kotak penyimpan ke lapangan terbuka tempat pengamatan akan dilakukan.

2. Kemudian panjangkan kaki tripod dengan cara membuka pengunci, setelah kaki tripod cukup panjang, kencangkan pengunci.

3. Menghubungkan tiga kaki tripod dengan bagian kepala tripod dan memasang skrup pada masing-masing penghubung kaki tripod sehingga membentuk bidang datar pada tempat dudukan teleskop.

4. Pasang Tempat Penyimpanan Accessory (lensa okuler atau eyepiece) agar tripod dapat berdiri kokoh sebagai penyangga agar tiga kaki tripod tidak bergeser.

5. Bila semua skrup sudah cukup kencang, teleskop dapat di pasang pada pemikul teleskop pada kepala tripod dan disesuaikan dengan skrup besar, pasang pin pengatur arah ketinggian teleskop.

6. Pasang Finderscope dengan penghubung pada badan teleskop.

7. Masukkan prisma-penyudut pada tabung fokus teleskop.

Prosedur sederhana untuk Mengarahkan teleskop

1. Pasang teleskop di atas tripod. Agar teleskop tidak bergerak, knop pengunci arah tinggi sebaiknya dikunci.

2. Pilih lensa okuler Eyepiece (misal H20mm) dan pasang pada tempat okuler, kencangkan skrup secukupnya agar okuler tidak mudah jatuh.

3. Sebaiknya mencari obyek terang seperti Bulan misalnya (lihat dalam kalendar Hijriah). Bagi awam umumnya Bulan sukar dicari pada kira-kira 3 hari menjelang Bulan mati atau 3 hari setelah Bulan mati (konjungsi/ijtimak). Bulan akan nampak sore hari, saat Matahari terbenam Bulan nampak setengah di dekat meridian pengamat pada tanggal 7 Safar, 7 Ramadhan dsb. Sebenarnya makin tua tanggal makin jauh jaraknya dari lokasi Matahari terbenam. Bulan purnama (sekitar tanggal 13, 14 dan 15 Bulan Islam/kalender Hijriah) akan terbit di kaki timur langit sekitar waktu Matahari terbenam dan baru tengah malam berada di sekitar meridian (di dekat arah atas kepala atau zenith). Selanjutnya (setelah tanggal 13, 14 dan 15 Bulan Islam/kalender Hijriah) Bulan nampak pagi hari di sebelah timur langit mendekat arah Matahari terbit.

4. Kendorkan knop pengatur arah tinggi dan arah azimuth. Bidikan teleskop ke arah Bulan dengan perlahan-lahan (ingat getaran tangan anda juga ikut menyulitkan pengarahan ke obyek langit yang perlu derajat ketepatan yang tinggi), lihat melalui teropong pencari. Jangan lupa memfokuskan, perhatikan tepi bundaran Bulan apakah sudah tajam. Kemudian secara sistematis tempatkan di beberapa tempat dalam medan teropong pencari dan lihat di okuler teropong utama. Bila medannya nampak terang kemungkinan Bulan sudah berada dekat dengan medan teropong atau mungkin sudah berada pada medan teropong. Kemudian fokuskan hingga citra bundaran bagian luar terlihat sangat tajam.

5. Kenali teleskop anda dengan melihat Bulan saat terbit atau terbenam. Bila anda sudah terbiasa pergunakan okuler lainnya, bandingkan perbedaannya. Misalnya: Eyepiece H12.5mm, Eyepiece SR4mm, Eyepiece H20mm, Magnification with 1.5 x Erecting Eyepiece (Perbesaran dengan menggunakan lensa Barlow 1.5x) dst untuk melihat kawah Bulan lebih dekat. Ingat makin tinggi perbesaran makin tinggi kesulitan mengarahkan ke obyek langit.

6. Pilih obyek lainnya, bintang atau planit.

Kenali Obyek langit yang akan diamati

Contoh 1: Misalnya kita ingin mengamati Bulan. Bilamana (tanggal dan jam) pengamatan bisa dilakukan? Apa yang akan diamati? Kawah khusus dalam sebuah peta Bulan? Data apa yang akan direkam atau dicatat? Dsb.

Bulan adalah salah satu satelit alam dalam tatasurya yang dapat diamati dengan mata bugil. Bulan merupakan sebuah batu karang yang tandus tak berangkasa, sehingga pengamatan ke arah Bulan langsung mengamati permukaan Bulan tanpa halangan angkasa Bulan. Wajah bulan yang menghadap ke planit Bumi hanya separuh lebih, separuh yang lain tak dapat diamati dari planit Bumi. Orbit revolusi Bulan mengelilingi planit Bumi sama dengan periode rotasi Bulan, sekitar 27.3 hari. Untuk mengetahui sebagian wajah Bulan yang lain, manusia harus menggunakan teknologi penerbangan antariksa. Bagi penduduk planit Bumi, kehadiran Bulan di langit tak asing lagi. Namun bila kita ingin jauh mengetahui kapan Bulan berada di langit malam atau di langit siang, perlu mengetahui keteraturan peredaran Bulan. Begitu pula bilakah gerhana Bulan akan berlangsung, perlu bantuan astronom untuk mengetahui waktu-waktu khusus untuk mengamati bila fenomena itu akan berlangsung. Keteraturan itu perlu diketahui agar bila kita punya keinginan melihat Bulan dapat selalu menemuinya atau sebaliknya bila kita ingin mengetahui pemandangan bintang-bintang di langit malam tanpa terusik cahaya Bulan kita juga bisa memilih waktu-waktu yang tepat. Begitupula bila kita ingin mengetahui lebih detail permukaan Bulan melalui teleskop dapat merencanakan waktu-waktu pengamatan dengan lebih baik.

Kadang-kadang anda menyaksikan sebuah peristiwa transien, fenomena yang berlangsung sangat cepat misalnya cahaya yang terang dalam tempo yang singkat saat mengamati daerah terminator Bulan, batas daerah gelap dan terang pada bundaran Bulan, karena kebetulan sebuah benda besar menabrak permukaan Bulan atau fenomena lainnya yang mungkin belum pernah di amati sebelumnya.

Pengamatan Bulan dengan teleskop memerlukan kesabaran dan juga keakraban menggunakan teleskop. Bila anda memiliki teleskop sederhana dan ketekunan yang tinggi mungkin anda juga akan mendapatkan sesuatu paling tidak anda diharapkan akan akrab dengan pemandangan kawah dan mare (lautan) Bulan. Bulan merupakan sebuah batu karang yang tandus memantulkan cahaya Matahari. Pantulan cahaya Bulan cukup terang pada malam hari. Malam yang menyeramkan menjadi lebih ramah. Sebagian wajahnya dapat dikenal melalui teropong. Besar kecilnya kawah yang bisa dilihat juga bergantung teropong yang dipergunakan pada saat pengamatan.

Selain itu anda juga diharapkan gemar patroli langit mengenal obyek langit lainnya. Hampir 2/3 daerah langit dapat anda jangkau dengan teleskop sederhana. Daerah langit yang amat luas untuk dijelajahi dan dikenal dari jauh melalui ribuan teleskop. Langit yang dinamis akan menghadirkan fenomena langit yang tak habis-habisnya untuk di fahami dan dimengerti seperti kehadiran komet terang, supernova, gerhana dan lain sebagainya.

Perubahan perlahan atau gradual dari hari ke hari atau dari masa ke masa pemandangan langit atau posisi obyek langit, menuntut kita memahami secara sistematis bila akan mengamatinya. Memang yang lebih ideal mempergunakan teleskop yang lebih canggih dan tentunya lebih mahal, dengan cermin atau lensa obyektif teleskop yang lebih besar akan dapat diamati fenomena langit yang lemah cahayanya, begitu pula obyek langit yang amat jauh dan obyek langit yang lemah cahayanya.

Teleskop dengan kendali elektronik juga memerlukan pengetahuan yang lebih tinggi untuk mengoperasikannya dan selain itu juga beaya perawatan yang lebih besar dibanding dengan teleskop sederhana. Namun fungsinya memang berbeda, dengan teleskop yang lebih canggih anda memang lebih enak dalam mengarahkan ke obyek langit yang ingin anda tonton dan anda amati. Tapi bila anda sudah lebih akrab dengan teleskop manual anda juga bisa dengan cepat mengarahkan ke obyek langit yang anda inginkan sesuai dengan kapasitas teleskop yang anda punyai.

Bila secara visual dengan mata bugil Bulan yang terlihat dari jauh nampak datar seolah permukaannya tanpa riak kawah, bopeng-bopeng, tapi anda bisa terkejut saat melihat permukaan Bulan melalui teleskop, yang paling sederhana sekalipun. Bulan merupakan sebuah obyek langit yang amat dekat dengan planit Bumi. Bulan satu diantara 60 satelit alam yang diketahui dalam tatasurya. Selain planit Merkurius dan Venus, 6 planit lainnya dalam tatasurya merupakan planit induk dari 60 satelit alam tersebut.

Planit Bumi dengan satu satelit alam, Mars dengan Phobos dan Deimos, kedudukannya terlalu dekat dengan planit Mars sehingga sukar diamati melalui teleskop sederhana. Planit Jupiter dengan 16 satelit alam dan 4 diantaranya yang mudah diamati dengan teleskop sederhana yaitu Io, Europa, Ganymede dan Calisto, planit Saturnus dengan 18 satelit alam, planit Uranus dengan 15 satelit alam, Neptunus dengan 8 satelit alam dan Pluto dengan satu satelit alam. Satelit alam planit lainnya tidak mudah diamati dengan teleskop sederhana. Bila ditilik dari perbandingan massa dan ukuran terhadap planit induk, sistem Bumi-Bulan sering dipikirkan sebagai planit kembar. Namun permukaan Bulan sangat berbeda dibanding dengan permukaan Bumi. Bulan juga merupakan benda langit yang terdekat untuk bisa dilihat lebih detail.

Data fisik Bulan

Diameter : 3476 km

Jarak Bumi-Bulan : maksimum 406 767 km, minimum 356395 km dan rata-rata 384 460 km

Inklinasi sumbu rotasi:1 derajar 32 menit

Periode Rotasi : 27.321 hari (27 hari 7 jam 43 menit)

Periode Revolusi mengelilingi Bumi : 27.321 hari (27 hari 7 jam 43 menit)

Periode Sinodis : rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit

Kecepatan lepas dari Bulan : 2.38 km per detik

Kecepatan Orbit Rata-rata : 0.96 km per detik

Massa Bulan relatif terhadap massa Bumi : 1 : 81

Volume Bulan terhadap volume Bumi : 0.020

Gravitasi permukaan relatif terhadap gravitasi Bumi: 0.165

Kerapatan batuan Bulan Rata-rata terhadap relatif air : 3.342

Diameter sudut Bulan : maksimum 33 menit busur 31 detik busur, minimum 29 menit busur 22 detik busur, rata-rata 31 menit busur 5 detik busur.

Data fisik Bumi

Diameter: ekuator 12755 km, polar 12700 km

Jarak Bumi-Matahari : aphelion (maksimum) 152239780 km, perihelion (minimum)147090020 km, rata-rata 149595700 km (satu satuan astronomi)

Kemiringan sumbu Bumi terhadap bidang orbit: 23.441 derajat

Periode Rotasi : 23 jam 56 menit 4 detik

Periode Revolusi : 365.256 hari

Kecepatan lepas : 29.7 km per detik

Massa Bumi: 5.976 x 1024 kg

Kerapatan materi rata-rata relatif terhadap air : 5.517

Laju pertambahan lama satu hari : 0.0007 detik per abad

Umur Bumi : 4600 juta tahun.

MENEROPONG GERHANA BULAN

Bersyukurlah anda bisa menyaksikan gerhana sebagai bagian pengetahuan mahluk cerdas di planit Bumi. Periode edar Bulan mengelilingi Bumi secara kebetulan sama dengan periode rotasi Bulan yaitu 27.3 hari. Sebagai akibatnya hanya setengah sisi Bulan yang menghadap ke planit Bumi. Bagi manusia di Bumi perlu upaya untuk mengetahui sisi Bulan lainnya yang tak pernah menghadap ke Bumi yaitu mengirim wahana antariksa untuk memotret dan memetakannya. Andaikan anda dilahirkan dan hidup menjadi seorang mahluk yang hidup di bagian Bulan yang tak pernah menghadap planit Bumi, renungkan kehidupan anda yang tak pernah mengenal planit Bumi dunia tetangga yang dekat, anda mengenal alam semesta yang berkubah bintang dan Matahari tanpa pemandangan gerhana. Disaat ribuan mata bugil dan mata teleskop mahluk cerdas memandang Bulan wajah Bulan yang sedang gerhana pada tanggal 5 Juli 2001 yang lalu anda hanya menyaksikan langit malam MilkyWay, Sagitarius, Skorpio dan planit Mars. Bila saat kejadian itu anda bermigrasi ke kawasan kutub utara Bulan yang tersapu umbra Bumi anda akan menyaksikan gerhana Matahari total di arah rasi Gemini.

Gerhana Bulan dapat dipandang sebagai penuntun intelektualitas manusia untuk mengenal alam. Bayang-bayang benda langit oleh Matahari mengajarkan manusia untuk mengembangkan pengetahuan melalui bayang-bayang salah satu diantaranya adalah gerhana. Satelit buatan manusia yang masih memerlukan energi Matahari untuk operasionalnya juga akan terganggu atau bahkan tak berfungsi bila terlalu lama berada dalam bayang-bayang umbra Bumi.

Mesin alam yang bekerja dengan gravitasi membuat kedudukan Bulan, Bumi dan Matahari berlangsung secara dinamis. Dalam dinamika itu terdapat momen-momen gerhana. Gerhana Bulan dan Matahari telah berlangsung ribuan dan bahkan jutaan atau milyaran kali, namun pemaknaan gerhana oleh mahluk cerdas di planit Bumi baru beberapa ribu tahun yang silam. Respon mahluk cerdas di permukaan planit Bumi dalam merespon gerhana juga mengalami perkembangan dari pandangan yang mencemaskan, tanda kehadiran mara bahaya dalam kehidupan sampai pada persoalan pemahaman mekanisme gerhana. Fenomena gerhana yang menarik manusia itu menguntai budaya dan peradaban manusia dalam merespon gerhana dari satu zaman ke zaman berikutnya. Sebuah takdir bagi mahluk cerdas di Bumi yang hidup dalam suatu zaman mendapatkan sebuah Bulan yang mempunyai ukuran diameter sudut yang sama dengan Matahari. Jarak Bulan-Bumi lebih pendek dibanding dengan panjang kerucut umbra Bumi. Pada beberapa milyar tahun ke depan Matahari akan mengembang, bundaran Matahari nampak membesar dari sekarang, bundaran Bulan di langit nampak lebih kecil dari bundaran Matahari.

Sampul peringatan gerhana Bulan Sebagian 5 Juli 2001 yang diterbitkan oleh POS INDONESIA hanya merupakan salah satu cara menyampaikan sebuah pesan budaya untuk generasi mendatang, generasi yang mungkin akan bertamasya ke Bulan dengan mudah, bertamasya di bawah kerucut umbra Bumi yang menerpa karang Bulan. Sebagian sampul mungkin akan tersebar dipergunakan untuk bersurat pada karib kerabat atau handai taulan, sebagian akan terpelihara sebagai benda koleksi bagi astrophilatelis. Seperti koleksi prangko dan benda filatelis lainnya mempunyai peran cerita tentang eksistensi dan kehidupan budaya yang pernah ada. Sampul peringatan itu juga memberi makna kepedulian dan sikap manusia Indonesia dalam merespon gerhana Bulan.

Dalam pandangan historis gerhana Bulan dan gerhana Matahari pernah dipersepsi manusia sebagai kejadian langit tanda tak berkenannya pada dewa atau penguasa langit atas kelakuan atau tingkah laku masyarakat. Bahkan pandangan semacam itu masih tersisa pada sebagian masyarakat dengan mengkaitkan fenomena kehidupan dengan peristiwa gerhana. Misalnya bagi seorang ibu yang sedang mengandung agar puteranya tidak belang merah, perlu merendam diri pada saat gerhana Bulan yang berlangsung pada malam yang dingin. Dalam perspektif kehidupan masyarakat semacam itu gerhana menimbulkan kecemasan yang tak rasional dan cara menangkalnyapun dengan cara yang tidak rasional. Kini sebagian manusia memanfaatkan gerhana untuk berbagai keperluan, merupakan momen yang sebaiknya direspon secara positif.

Bagi generasi muda mungkin mereka perlu menyaksikan secara langsung sebagai bagian pengalaman hidup, begitu pula bagi sebagian manusia yang lain perlu memperkaya khasanah kehidupan dengan menyaksikan suatu atraksi langit yang tak setiap hari berlangsung. Bila di zaman beberapa ribu tahun yang silam rasionalitas manusia telah melihat keteraturan kehadiran gerhana tanpa mengetahui mekanisme penyebabnya.

Secara historis dikenal adanya siklus Saros gerhana Bulan dan gerhana Matahari. Siklus Saros ini memberi tahu berulang gerhana pada arah rasi tertentu atau berdekatan lokasi gerhana sebelumnya. Rata-rata satu siklus Saros gerhana sepanjang 18 tahun 11.3 hari (sekitar 6585.3 hari) atau 223 kali periode sinodis Bulan (rata-rata 29.53 hari). Melalui telaah fisik Bulan dan Matahari serta dinamika atau gerak Bulan dan Matahari kini dapat diramalkan berlangsungnya gerhana.

Pengamatan gerhana dapat direncanakan dengan lebih baik, tinggal faktor izin dari yang Maha Kuasa dalam memberi secercah pengetahuan melalui fenomena gerhana di suatu langit yang cerah. Siklus keteraturan dalam gerhana yang berjangka panjang itu memberi kesempatan manusia di zaman dulu untuk memprediksi kehadiran gerhana Bulan dan gerhana Matahari. Kalau usia kita cuma sekitar 60 atau 70 tahun dan kita merencanakan pengamatan gerhana Bulan seri Saros yang sama, mungkin paling banyak bisa menyaksikan 4 gerhana dari 71 atau 84 gerhana Bulan dalam satu seri Saros. Untuk bisa menyaksikan semuanya perlu usia manusia yang bisa mencapai 1500 tahun.

Gerhana selalu berlangsung di kawasan ekliptika, tempat rasi-rasi yang dikenal astrolog sebagai pembagian keberuntungan manusia, fungsi kedudukan Matahari dari rasi bintang dalam ekliptika itu. Keberadaan satu seri Saros ada batasnya satu seri Saros gerhana Bulan bisa berjumlah 71 sampai 84 gerhana Bulan, termasuk gerhana Bulan penumbra. Dalam satu seri Saros bisa terdapat gerhana Penumbra, gerhana Bulan Sebagian atau gerhana Bulan Total. Kini dapat dimengerti adanya musim gerhana dan keterkaitan antara musim gerhana rata-rata 173.3 hari atau setahun gerhana rata-rata 346.6 hari dengan siklus Saros.

Secara fisik dua gerhana berlangsung secara simultan, di planit Bumi mahluk cerdas menyaksikan gerhana Bulan sebagian, sedang di kawasan belahan utara Bulan menyaksikan gerhana Matahari total, tertutupnya Matahari oleh bola Bumi. Kawasan Bulan lain yang tak bersentuhan dengan umbra Bumi akan menyaksikan gerhana Matahari sebagian. Di saat itu Bumi dalam fase konjungsi menurut penghuni Bulan dan Bulan dalam fase oposisi menurut penghuni planit Bumi. Perlu dicatat pula bahwa gerhana Matahari dan transit umbra Bulan hanya dapat disaksikan dari setengah bagian Bulan yang selalu menghadap Bumi, sebagian lain tak pernah menyaksikan transit umbra Bulan pada permukaan Bumi saat purnama atau gerhana Matahari.

Selain dapat diramalkan berlangsungnya gerhana, fokus pengamatan gerhana dapat direncanakan dengan lebih baik, rasionalitas manusia dapat menyimpulkan adanya momen gerhana Bulan penumbra, momen gerhana penumbra juga berada pada fase awal dan akhir gerhana Bulan total dan gerhana Bulan sebagian. Apabila anda ingin menggunakan Teropong Bulan bersama rekan-rekan dalam kerja team, satu team terdiri dari 3-4 orang ada beberapa tujuan yang perlu diformulasikan dengan baik antara lain adalah :

1. Membandingkan antara waktu -waktu dalam momen gerhana bulan total yang diperoleh melalui pemotretan momen gerhana terhadap waktu-waktu yang diramalkan melalui hasil perhitungan misalnya : model perhitungan ASTROSCRIFT, NASA dan the Astronomical Almanac.

2. Menentukan diameter umbra saat GB melalui momen-momen gerhana.

3. Menentukan jarak bulan dengan memanfaatkan momen-momen gerhana bulan total (dibandingkan dengan hasil perhitungan)

4. Estimasi perubahan brightness bulan, melalui pengamatan bintang.

5. Klasifikasi gerhana bulan total melalui warna foto bulan saat pertengahan GB.

Data pengamatan yang perlu dicatat antara lain adalah :

1. Pengamatan dengan teleskop dan pencatatan waktu saat mengamati momen-momen: Gerhana Bulan mulai, bulan mulai bersentuhan dengan umbra. Pertengahan Gerhana Bulan dan Gerhana Bulan berakhir.

2. Membuat sketsa umbra pada permukaan bulan melalui teleskop untuk momen-momen gerhana.

3. Pencatatan perubahan brightness bulan melalui teleskop dan dibandingkan dengan mengamati bintang terlemah yang bisa di amati di sekitar bulan. Lokasi bintang bisa dilihat melalui peta langit.

4. Pengamatan warna bulan pada saat bulan purnama, pada saat bulan berada dalam penumbra dan umbra bumi.

5. Mengamati cuaca pada saat berlangsungnya momen gerhana dari awal hingga akhir gerhana.

http://aa.usno.navy.mil/data/docs/eclipse/map107.pdf

Total Eclipse of the Moon, 2007 March 3-4; the beginning of the umbral phase visible in the Arctic region, Africa, Europe, Asia except for extreme eastern region, most of Indonesia, western Australia, Queen Maud Land of Antarctica, extreme eastern South America, Greenland, the Indian Ocean, the South Atlantic Ocean, and the eastern North Atlantic Ocean; the end visible in Africa, Europe, western Asia, Queen Maud Land of Antarctica and Antarctic Peninsula, South America, eastern North America, Greenland, the Arctic region, the Atlantic Ocean, the western Indian Ocean, and the extreme eastern South Pacific Ocean.

                               d   h   m
Moon enters penumbra    March 03  20 16.4
Moon enters umbra             03  21 30.0
Moon enters totality          03  22 43.8
Middle of eclipse             03  23 20.9  UT
Moon leaves totality          03  23 58.0
Moon leaves umbra             04  01 11.7
Moon leaves penumbra          04  02 25.4
 
Penumbral magnitude of the eclipse: 1.237
 

Total Eclipse of the Moon, 2007 August 28; the beginning of the umbral phase visible in North America, South America except extreme east, Antarctica except for Enderby Land, New Zealand, eastern Australia, extreme northeastern Asia, the Pacific Ocean, and the western Atlantic Ocean; the end visible in New Zealand, Australia, most of Antarctica except Queen Maud Land, Indonesia, eastern Asia, western North America, the Pacific Ocean, and the southeastern Indian Ocean.

 
                                 d   h   m
Moon enters penumbra     August 28  07 52.2
Moon enters umbra               28  08 50.9
Moon enters totality            28  09 52.0
Middle of eclipse               28  10 37.3  UT
Moon leaves totality            28  11 22.7
Moon leaves umbra               28  12 23.8
Moon leaves penumbra            28  13 22.5
 
Magnitude of the eclipse: 1.481


Persiapan ALAT antara lain adalah:

1. Teropong Bulan di lokasi pengamatan

2. Termometer (yang sudah dikalibrasi), untuk mengetahui data kuantitatif temperatur, umumnya di daerah ekuator fluktuasi temperatur.

3. Hygrometer, untuk mengetahui data kuantitatif kelembaban diperlukan agar kita tahu selang waktu terjadinya pengembunan pada permukaan lensa

4. Buku catatan pengamatan, penggunaan teleskop dan buku pengamatan (sejak dibeli atau dipergunakan) agar bisa mengetahui kondisi teleskop, setiap pengguna diwajibkan mengisi buku catatan selengkap mungkin tentang segala sesuatu yang menyangkut kinerja teleskop atau (misalnya teleskop terbentur atau kamera jatuh walaupun tidak sampai rusak fatal, singkat dan jelas.

5. Tabel-tabel perekaman pengamatan, peta bintang dan bintang yang akan menjadi target pengamatan, gambar bulan.

6. Alat tulis dan alas untuk mencatat.

7. Alas untuk meletakkan instrumen/duduk agar celana tidak kotor.

8. Lampu senter

9. Jam yang terkalibrasi

10. Lap untuk lensa mungkin udara lembab dan lensa teleskop berembun

11. Tissue

12. Foto berwarna gerhana bulan total yang telah berlalu.

13. Persiapan mental, baju hangat dan makanan kecil

Contoh : PERSIAPAN PENGAMATAN

1. Membuat Rencana Detail Pengamatan, berisi jadual kerja harian dan rincian pekerjaan pada setiap jam team untuk persiapan dan pengamatan gerhana bulan.

2. Memeriksa kelengkapan instrumen atau data lain yang hendak dipergunakan untuk pengamatan GB.

3. Mengenal lokasi tempat pengamatan (perhatikan apakah anda dapat menyaksikan seluruh momen gerhana?).

4. Berorientasi Mengenal langit atau lokasi langit, bintang dan planit di dekat arah langit tempat berlangsungnya GB.

5. Mengenal Orientasi wajah bulan di langit melalui mata bugil atau binokuler.

6. Mengenal kedudukan teleskop saat fenomena gerhana berlangsung.

Persiapan Pengamatan Hilal:

1. Data kuatitatif, posisi Hilal dan relatif terhadap benda langit yang terang lainnya, berapa jarak sudutnya? Di arah mana kedudukan Hilal relatif terhadap posisi Matahari terbenam ? Di arah mana kedudukan Hilal relatif terhadap posisi planet?

2. Persiapan finding chart Hilal, peta langit di sekitar Hilal.

Pencatatan

1. Cuaca, keadaan langit, berawan, hujan, kabut, berawan sebagian, berawan tipis

2. Seeing kondisi turbulensi udara

3. Kandungan debu di arah Matahari terbenam, warna cahaya senja, atau memeriksa sejumlah bintang terang di sekitarnya yang tak nampak oleh karena serapan oleh aerosol angkasa bumi

Detektor

1. Sensitif dan kontras tinggi

2. real time

3. spacing waktu perekaman bisa sekecil mungkin (1/1000 detik)

Pointing,

1. Jangkauan teleskop bisa mencapai jarak zenit maksimum 90 derajat (bulan terbenam +0 derajat 08 menit)

2. Presisi, karena obyeknya lemah usahakan kurang dari 1 menit busur. Setting mobile teleskop perlu mempunyai SOP agar bisa dicapai presisi.

3. Bisa melakukan tracking walaupun bulan dekat dengan matahari

JARAK ZENIT MAKSIMUM SEBUAH TELESKOP

Kemampuan teleskop untuk menjangkau berbagai penjuru langit ditentukan dengan jarak zenit maksimum yang bisa di jangkau teleskop. Waktu pengamatan sebuah obyek langit pertama kali yang bisa diamati oleh sebuah teleskop pada suatu malam juga ditentukan oleh jarak zenit maksimum yang bisa dijangkau oleh sebuah teleskop. Begitu pula lama pengamatan sebuah obyek langit ditentukan oleh waktu pertama kali bisa diamati dan terakhir kali bisa diamati dalam selang waktu sesudah senja matahari berakhir dan sebelum terbit fajar astronomi.

Setiap benda langit mencapai tinggi maksimum saat mencapai kulminasi atas atau pada saat mencapai meridian atas pengamat. Informasi kulminasi atas obyek tersebut untuk mengetahui rentang deklinasi sebuah obyek langit yang bisa diamati dalam keterbatasan jarak zenit maksimum teropong.

Untuk keperluan deep survey, pemotretan langit dengan tempo pencahayaan yang sangat lama (lebih dari satu jam dan kadang-kadang lebih dari 20 jam) kompromi antara lokasi langit dan tempo pemotretan maksimum dalam sebuah survey langit juga merupakan topik yang menarik untuk dibahas.

Perbandingan pengamatan awal dan akhir dari dua obyek misalnya sebuah obyek di dekat atau pada ekuator langit dan obyek langit yang lainnya mempunyai peredaran harian melewati zenit pengamat, merupakan topik-topik menarik untuk dibahas.

Teleskop bekerja dengan dua sumbu putar, umumnya sumbu kutub sejajar dengan sumbu rotasi Bumi, melalui sumbu ini teropong bisa diputar ke arah timur dan barat atau dalam sudut jam atau arah asensiorekta. Selain itu terdapat juga sumbu deklinasi untuk keperluan mengarahkan teropong ke arah utara dan selatan ekuator langit atau ke arah deklinasi. Sistem teleskop dengan dua macam sumbu deklinasi dan sumbu kutub ini dinamakan dengan sistem pemikul equatorial. Sistem pemikul equatorial mudah dipergunakan dalam mengarahkan teleskop ke benda langit secara manual, bila terdapat indikator skala ukuran gerakan sudut jam dan deklinasi serta titik nol meridian dan deklinasi nol teropong. Mudah dipergunakan namun relatif sukar dalam pembuatannya dibanding dengan sistem alta azimut. Pada zaman komputer, pengendalian teropong dalam arah deklinasi maupun arah asensirekta atau sudut jam dilihat dalam layar monitor.

Sistem pemikul teropong lainnya adalah sistem alta azimut, teropong dikendalikan dengan dua buah sumbu yaitu sumbu azimuth dan sumbu tinggi. Sistem teleskop semacam ini relatif mudah dibuat dibanding dengan sistem ekuatorial. Posisi asensiorekta dan deklinasi sebuah benda langit dikonversi ke tinggi dan azimut, konversi koordinat dari sistem ekuatorial ke sistem horizontal. Untuk mengikuti secara kontinu pergerakan benda langit diperlukan proses konversi koordinat secara terus menerus dan tidak mungkin dilakukan dengan cara manual atau kalkulator biasa. Kasus yang umum adalah bila posisi obyek di dekat zenit berubah dari timur meridian ke barat meridian, perlu waktu yang agak lama untuk memindah orientasi (secara otomatis) sehingga menimbulkan dikontinuitas dalam pengamatan astronomi.

Text dari Meade

There are two major types of mounts for astronomical telescopes: Altazimuth and Equatorial.

Altazimuth - The simplest type of mount with two motions, altitude (up and down/vertical) and azimuth (side to side/horizontal). Altitude and Azimuth - Thus the name Altazimuth . Good altazimuth mounts will have slow-motion knobs to make precise adjustments, which aid in keeping tracking motion smooth. These type mounts are good for terrestrial observing and for scanning the sky at lower power but not for deep sky photography. Certain altazimuth mounts are now computer driven and allow a telescope to track the sky accurately enough for visual use but not for long exposure photography.

Dobsonian Mounts - A newer, modified version of the Altazimuth mount is called the Dobsonian mount. The Dobsonian mount was invented in the 1970's by John Dobson. A Dobsonian mount is mounted on the ground by a heavy platform. A Dobsonian mount was designed to support massively sized Newtonian Reflectors and keep a steady image from the size and weight of the optical tube. It is common for Dobsonian telescopes to have very large apertures - anywhere between 6 and 20+ inches!


Equatorial - Superior to non-computerized altazimuth mounts for astronomical observing over long periods of time and absolutely necessary for astrophotography.

As the earth rotates around its axis, the stationary stars appear to move across the sky. If you are observing them using an altazimuth mount, they will quickly float out of view in both axes.

A telescope on an equatorial mount can be aimed at a celestial object and easily guided either by manual slow-motion controls or by an electric motor drive to follow the object easily across the sky and keep it in view of the telescope.

The equatorial mount is rotated on one axis adjusted to your latitude and that axis is aligned to make it parallel to their Earth's axis, so that if that axis is turned at the same rate of the speed as the Earth, but in the opposite directly, objects will appear to sit still when viewed through the telescope

There are two basic types of equatorial mounts

German Equatorial Mount - Both Newtonian Reflectors and Refractor telescopes normally use this type mount. A large counterweight extending on the opposite side of the optical tube is its distinguishing feature. The counterweight is needed to balance the weight of the optical tube.

Fork Mount - Most Catadioptric and other shorter optical tubes use this style mount, which is generally more convenient to use than the German mount, especially for astrophotography. A more recent state-of-the-art computer controlled telescope allows fully automatic operation making it extremely fun and easy to locate objects while saving the observer considerable time and effort.

Unless the telescope is a tabletop model, it should be set on a tripod or pier-type platform. These must be rigid and minimize vibration. They should be portable and lightweight as well as easy to handle and set up. Appearance can be deceiving, as bulk and weight are not as important as a well-engineered tripod or pier.

Connecting the modern Digital cameras to telescopes is still pretty new. Most digital cameras do not have threaded lenses and require very specific attachments specific to the camera itself. The company ScopeTronix is a brand that we offer that has developed a connection for hundreds of digital cameras. Odds are if you have a digital camera - we have a connection that can make it fit.

Perawatan, bertujuan untuk memperpanjang usia penggunaan teleskop dengan kinerja yang sangat baik, selain itu harga sebuah teleskop cukup mahal mahal dan makin canggih teleskop makin memerlukan perhatian yang lebih serius.

1. Mekanik, fine mekanik

2. Optik, membersihkan lensa

3. Menyimpan teleskop di tempat yang kering

4. CCD

Choosing a binocular for Astronomy When choosing a binocular for astronomy you first need to understand how binoculars work. Similar to telescopes, a binocular needs to gather light. The same critical feature for telescopes is the same in binoculars - you need a large enough objective lens to gather light.

Binoculars are measured with two key features - its magnification and its objective lens. For example, a binocular may be listed as 10x50. The first number 10 is the magnification of the binocular. The second is the size of the objective or outside lens in millimeters. 10 times the naked eye with a 50mm objective.

Like telescopes, objective is the most important factor. It's the same for binoculars for astronomy. We recommend a minimum of a 50mm objective lens for astronomy. A 7x50 or 10x50 are very common choices for astronomy. They offer a large enough objective lens and a magnification that is enough to bring objects close enough to observe.

Giant Binoculars Even better for astronomy is the larger objective lens binoculars. Many astronomy binoculars will features objective lenses between 60mm to 100mm or even more. These larger binoculars will usually require a tripod, as they are very heavy. The larger objective size binoculars will often have much more magnification than traditional sized binoculars. Powers of 10x, 15x, 20x or more are common on larger astronomy binoculars. When you have binoculars of this size and magnification - having a steady hand is usually not enough. Having them mounted on a tripod will give you the best results. Many giant binoculars will have a built-in tripod mount or have an adapter included or sold separately.

One of the greatest advancements in binoculars is the Image Stabilized binocular. Brands such as Canon and Nikon have developed a revolutionary method of stabilizing the image with a tiny microprocessor inside to counter the movement of your hands. These binoculars are amazing for astronomy as you can have all the advantages of high power magnification without the need of a tripod.

1 komentar: