Pages

Senin, 07 November 2011

Terlalu Absurd Mungkin

Kau tahu apa yang ingin ceritakan? Baiklah kalau begitu aku akan sedikit dan sedikit sekali ceritakan padamu apa yang telah terjadi. Aku tak tahu itu terjadi betul padaku atau cuma khayalan orang yang kehabisan uang dan kopi saja. Tapi sungguh aku sudah lupa kapan itu terjadi, kemarin, kemarinnya lagi, bulan lalu, sepuluh tahun lalu atau bahkan kalau mungkin tak pernah terjadi, yah tak pernah terjadi, aneh memang dan sangat membosankan. Karenanya sekarang kukatakan kepadamu yang sekarang sedang membaca tulisanku ini untuk berhenti! Yah buru-burulah kau ambil kegiatan lain dan campakan kertas ini, tulisan ini mungkin akan menjadi kau sulit menjawab pertanyaan Tuhan kelak di yaumil akhir. Apa yang akan kau jawab ketika Dia tanya “kau habiskan untuk apa umur yang kuberikan padamu?” apa kau akan menjawab “aku habiskan untuk membaca tulisan orang aneh, sinting dan pemalas”. Aku sama sekali tak mau bertanggung jawab jika aku kau ajak ke nar al-hutamah karena kau habiskan waktumu dengan percuma dan aku sudah katakan padamu “berhenti!”.

Ok, aku turuti kemauanmu untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang gila ini. Kau sendiri pernah memberiku beberapa kali uang receh karena melihatku menggelapar hampir mati karena lapar, dan sekarang kau bersikeras mau mendengarkan ceritaku. Aneh. Akupun sangat tak ingin mengingat hal itu lagi karena dimana kita berdiri sekarang, orang-orang NASA sudah menceraikan Pluto sebagai keluarga tatasurya dan aku baca di koran bekas bungkus nasi kemarin orang-orang di CERN Swiss sudah menemukan apa yang mereka sebut antimateri dan sekali lagi aku diceritakan tentang orang jepang yang mati-matian mau menimbang neutrino yang sejak aku belum lahir bermasa `nol`. Sekarang kau mau mendengar ceitaku tentang lelucon kuno dan basi, basi sekali. “tak apalah bapak aku ingin mendengarnya” itu katamu, tapi kuberi waktu untuk kau berfikir kenapa tak kau manfaatkan otak geniusmu untuk mempelajari tentang epistemologi kiri, sains atau menghafal alfiyah ibnu malik atau al qur`an? Daripada mendengar syak mansyuk tentang `cinta` yang sangat membosankan. Oia, kau pernah mendengar atau mengetahui tentang Majenun? Atau Napoleon? “ya sedikit bapak” itu jawabmu, makanya jika kau suka cerita cinta bacalah majenun atau napoleon bonaparte atau kau baca tentang mbahmu Adam dan Hawa, yah mungkin dari al baqarah ayat 30 sampai sepuasmu. “tapi salahkah jika aku ingin mendengar cerita cinta bapak, seorang pengemis tua berotak Karl Max di pinggir Jalan Solo depan IAIN yang kepanasan tapi berhati sejuk sesejuk Yaseer Arafat dan bermata sayu tapi setajam Syikh Siti Jenar?” itu katamu, sudahlah jangan merayuku karena aku malas untuk dirayu oleh pemuda dungu sepertimu, aku hanyalah orang kafir yang bahkan tak tahu siapa yang menjadikan aku, mungkin aku setara dengan Ariel Sharon di akherat kelak. “sudahlah bapak aku tak perduli dengan itu semua, dan jangan bapak berputar-putar agar aku pergi tanpa mendengar cerita dari bapak” itu katamu, baiklah aku mengaku kalah dasar kau anak muda sekarang berjiwa Trenggana dan bertubuh Hawking adapun otakmu aku yakin jauh lebih dungu dari keledainya Hoja.

Kini kau datang anak muda, mahasiswa dungu IAIN Jogja yang menghabiskan uang orang tuamu saja kerjamu, disaat mataku telah rabun, dan malaikat Izrail mungkin sedang bersiap-siap mengambil nyawa dari tubuh reot dan tak berguna ini, pertanyaanmu tentang cinta sangat dan sangat mengganggu waktuku dimana saat ini aku sedang asyik dan mabuk meneguk anggur kenikmatan berhina diri di tamanNya dan pertanyaanmu tentang cinta telah membawa gelombang rindu, kecewa, sedih, marah, sayang dan ribuan perasaan yang sama sekali remeh temeh seremeh perkataan para filosof dihalaman Tahafut al-Falasifah. Gelombang itu sebesar ribuan dan jutaan kali lbih kuat dari tsunami Aceh. Sudahlah, sudah kubilang ini sangat membosankan, bagaimana tidak, kau, mahasiswa, mendengarkan aku si pengemis. Sekarang pulang ke pondokmu dan persiapkan hafalan qawaid al-fiqhiyyahmu.

Jika kau percaya dan aku yakin kau takkan percaya kalau aku dulu sepertimu. Gagah, tampan, tegap dan tentunya cerdas tak dungu sepertimu. Kau tahu jika kau berjalan terus ke arah barat di ujung jalan ini, di tengah hutan dan sawah indah, dimana ada sebuah bangunan tingkat, tua tapi gagah, sederhana tapi megah dan di depan ada tulisaan `Ma`had Salafy An Nur`, disanalah aku dulu menghabiskan masa mudaku yang begitu berharga, meninggalkan semua kekasih dan orang yang aku sayangi dan menyayangiku demi untuk menunggu janji bahwa kelak entah kapan aku dapat bertemu dengan Kekasih yang entah dimana. Dan dipondok itulah aku peras otakku untuk menghafal dari jurumiyah, sorof, imrithi, alfiyah, jawahirul maknun bahkan al qur`an. Sepuluh tahun sudah aku buang waktuku dengan tak ku tahu percuma atau tidak, aku dibimbing oleh kiaiku, mursyidku, murabbyku untuk mencicipi dan menikmati wangi bunga di taman-taman Tuhan..

Nak, pernahkah kau jatuh cinta? Atau kau tahu apa itu cinta? Jangan dijawab, aku tak yakin kau mampu menjawab karena kau mahasiswa dan santri goblog, mana mungkin tahu, aku menyesal mau bercerita denganmu. Menyesal. Seribu kali mrnyesal. Ia datang tanpa memberi tahu siapapun dan tak perduli kepada apapun. Seratus hari setelah aku selesai melakukan khalwat di tempat suluk, aku pulang ke bilik kumalku.

“Dan, kau tahu tentang kabarnya pak kiai?” Tosir membuka pembicaraan ketika aku nggleleng di kamar.

“ada apa? Yang aku tahu, beliau akan menikah lagi setelah nyai Sonhaji wafat” jawabku enteng

“nah, itu Dan masalahnya” Tosir tampak serius

“lha kamu ini lho, yang mau menikah pak kiai kenapa kamu yang ribut? Kamu di angkat jadi panitia?”

“kau tahu siapa pengganti nyai Sonhaji?” tosir masih dengan serius yang sama.

“sudahlah, mbuk ojo ngrasani pak kiai, nanti kualat, ilmumu bisa-bisa ndak manfaat Tos” kupalingkan wajahku dari Tosir, aku tak mau mengotori adabku kepada pak kiai.

“kau ingat santri putri yang kemarin?”

“siapa?”

“yang kira-kira dua bulan lalu di minumannya kita kasih rajah mahabbah

“Fatimah?” aku mulai serius

“iya” jawab Tosir dengan wajahnya yang lucu karena serius padahal dia orang yang paling tak bisa serius. Kupandangi wajahnya.

pengasihan kita berhasil?” tanyaku tak sabar

Tosir menggeleng, tapi ia memberiku kertas bewarna biru muda yang berbau begitu harum. Aku yakin bau itu berasal dari kertas itu karena sepuluh tahun aku disini parfum kamarku hanya iler saja.

“ia kemarin menitipkan ini kepadaku dan katanya buat njenengan”

Kurebut kertas itu dan buru-buru kubaca isinya

Untuk mas Dani,

Mas, aku bukanlah orang yang mampu menulis dan mencurahkan apa yang aku rasakan di kertas ini. Aku tahu kalau selama ini mas mencintai aku, walau akupun selama ini `sengaja` untuk cuek. Aku tahu di usia kita yang tak lagi pantas untuk berasyik mansyuk bermain cinta dikertas separti ini. Tapi tak ada jalan lain selain dengan surat ini. Walau terlambat, sebelum kita berpisah aku hanya ingin mengatakan, walau terlalu absurd mungkin, aku juga mencintaimu

Nur khasanah

“sudah selesai mbacanya?” tosir menyadarkan lamunanku

“apa maksudnya berpisah dan apa artinya ini terlalu absurd?” tanyaku heran luar biasa.

“ya Dan, entah berapa kali kita bermain wanita dengan ilmu, aurad, hizib aneh-aneh sampai mereka merengek-rengek, tapi aku tahu Dan, kau mencintai Nur Hasanah kan?” tanya Tosir aneh, dan hal itu membuatku gugup. Aku tahu entah berapa lama aku menganal Nur Hasanah, dan akupun menyadari kalau aku begitu mencintainya. Entah wagu atau tidak tapi aku tak malu mengakui itu.

Dan entah berapa kali aku mengirimkan suratku padanya dan kau pasti tahu kalau itu pasti surat cinta. Kukatakan lagi, wagu, dizaman internet ini aku masih surat-suratan. Maka tak pernah sekalipun ia mau membalas bahkan memandang sekalipun, padahal aku adalah ustadz pengajian I`anatun Nisa`

“kenapa bapak tak katakan terus terang dihadapanya?”itu katamu

Sudah kubilang kau mahasiswa edan, santri dungu. Bagaimana mungkin aku berani mengatakannya, itu pondok pesantren, dan berbicara dengan ajnabiyah apalagi tentang hal seperti itu tak mungkin. Itu zina.Haram.

“lha bapak tadi cerita kalau bapak punya ilmu pengasihan. Kenapa tak bapak pakai saja?”itu katamu

Aku benar-benar marah padamu santri kualat. Aku habiskan waktuku untuk ndopok denganmu, aku tak tahu harus makan apa aku ini malam nanti, aku harap kau akan mengajaku ke warung gudeg itu sebagai ganti dari waktu ngemisku.

“pak, jangan coba alihkan pembicaraan, kenapa tak bapak gunakan pengasihan?”itu katamu

Edan!!! Dasar mahasiswa gemblung!!! Santri maling!!! Apa yang kau tahu tentang cinta? Bagaimana mungkin aku gunakan ajian-ajian bergundal itu untuk menarik hatinya. Aku mencintainya cuk dan aku ingin ia pun mencintaiku tanpa ada sababiyah lain selain cinta itu sendiri. Dan aku melihat dia seperti majenun melihat laila, seperti Adam melihat Eva dan aku melihatnya seperti Hawking melihat Jane Wilde.

“ya, aku paham pak. Monggo lanjutkan”itu katamu

“Dan, kau tahu kenapa ia berkata seperti itu” Tosir duduk disampingku, tapi kali ini ia tak memandangku. Aku tak tahu kemana pandangannya ia arahkan. Dan aku menggeleng.

“ia yang akan menjadi ganti nyai Sonhaji”

Deg… nging ngiiiiiiing ngiiiiiiiiiiiiii….nnnnnggggg

Aku tak tahu apa yang terjadi, aku hanya merasa ada sebagian dari dalam dadaku yang pergi meninggalkanku, kosong, sunyi, sepi, sepi sekali, aku bahkan tak tahu harus apa aku sekarang, sedihkah? Marah? Aku hanya merasa sepi yang tak terbantahkan dan tak bertepi. Sepi.

Kamar itu tak lagi kurasakan keberadannya, semua tampak nirwujud, antimateri, kosong, tak beruang dan tak berwaktu. Aku tak paham aku didalam atau diluar, aku tak paham. Tak kutahu siapa yang melangkahkan kakiku keluar, melewati bilik-bilik berdinding kayu yang begitu lapuk yang sama sekali asing bagiku, aneh, padahal sepuluh tahun aku disini. Kulewati ruang-ruang kelas, lapangan, masjid, maqbarah, sawah dan sawah. Yang kurasa hanya suara malam, suara padi, suara katak yang sedang bersenggama, suara angin, suara gelap dan suara kesedihan. Tidak Aku tidak mengenali suara yang terakhir itu, aku tak kenal dia, buru-buru kuambil batu dan kulempar suara itu, kulempar suara kesedihan yang begitu aneh bagiku

“idzhab ya la`in!!!”

Entah apa yang menggerakanku, aku duduk di tengah pematang sawah ini, di tengah pesantren ini, di tengah bumi, di tengah episiklus semua materi alam ini yang membuat lingkaran begitu mencengangkan yang kemudian saling bertemu dengan lingkaran yang lain dengan keteraturan yang luar biasa membentuk lingkaran yang lebih besar yang semakin jauh semakin membesar, besar dan besar sekali hingga kulihat Bumi, Jawa, Jogja, An nur, dan aku. Tidak aku tak kenal yang terakhir kuambil batu dan kulempar

“idzhab ya la`in!!!”

Yah, kurasa menjadi sebuah titik nadir yang begitu teratur dan tak terpahami. Sama tak kupahaminya, aku hadapkan wajahku ke kiblat, ku angkat tangan dan bertakbir, ruku`, sujud, duduk, sujud dan berdiri lagi. Aku sama sekali tak paham apa yang sedang kulakukan, akupun tak tahu entah berapa puluh kali kulakukan hal ini berulang-ulang. Dan sama sekali tak kusadari. Aku tak tahu, hanya kesunyian, sepi, kosong dan kesenyapan yang begitu luas kurasakan, begitu luas, luas sekali. Setelah salam aku duduk tawaruk, tapi kebalikan dari duduk tawaruk dalam shalat, ku duduki kaki kiriku dan ku tekuk kaki kananku kesamping. Kupalukan di dadaku sebelah kiri dua jari di bawah susu, astaghfirullahal`adzim, astaghfirullahal`adzim, astaghfirullahal`adzim 5000 kali. Masih dengan posisi yang sama ku amalkan dzikir lathaif ismu zat yang diajarkan mursyid, murabby rukhy yang sekaligus penghancur hidup dan ruhku dengan kulakukan terlebih dahulu rabithah sehingga aku benar-benar fana` pada ruh mursyidku itu. Kau tahu rasanya fana` pada orang yang paling kau benci tapi yang telah mengajarimu cinta?

Masih pada tempat yang sama pula kupalukan dzikir Lathiful Qalbi. Allah Allah Allah 5000 kali. Kulanjutkan Lathiful Roh dua jari di bawah susu kanan, Allah Allah Allah 1000 kali. Lathifus Sirri dua jari di atas susu kiri, Allah, Allah, Allah 1000 kali. Lathifatul Khafi dua jari di atas susu kanan, Allah, Allah, Allah 1000 kali. Lathifatul Akhfa ditengah-tengah dada, Allah, Allah, Allah 1000 kali. Lathifatul Nafsin Nathiqah di atas kening Allah, Allah, Allah 1000 kali dan Lathaifu Kulli Jasad, Allah, Allah, Allah di seluruh tubuhku. Kurasa tak ada seincipun dari tubuhku yang tak berdzikir. Setelah dzikir ismu zat selesai maka tanpa ada yang memerintah, tiba-tiba aku ganti dengan dzikir nafi isbat. La ilaha allallah, la ilaha illallah sepuas-puasnya.

Kurasakan kosong, suwung dan sepi yang begitu luas, ribuan, jutaan atau trilyunan kali lebih luas dari yang tadi. Tak ada lagi rasa sedih, gembira, senang, marah, bahagia semua terasa asing namun akrab, aneh namun wajar, jauh namun dekat, rumit namun sederhanan, sulit namun mudah, meliputi namun diliputi, memohon namun mengabulkan, gelap namun terang, di dalam namun di luar. Yang kusadari aku seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong. Kuingat Nur Hasanah, kupeluk, kucium dan kucumbui cintanya. Aku tak lagi kenal Nur Hasanah kah atau cintanya, siapa dia? Siapa an nur? Siapa mursyidku? Siapa padi dan katak itu? Siapa batu? Malam? Gelap? Angin?.

Kutatap gontai pengemis tua itu, aku tak tahu siapa dia, yang kurasakan adalah bahwa tangan hitam legam, bau dan kurus luar biasa karena lapar kini dingin, dingin sekali, aku tak tahu aku harus apa, kupandangi wajahnya yang kini tak lagi bernafas, wajah yang begitu hina dan hina serendah-rendahnya di hadapan manusia namun aku begitu silau terkena cahaya karamahnya. Kututup matanya yang kusam terkena asap kendaraan. Aku bukan bucaillis, darwinian, sufi, mutasawifin, atau atheis tapi kini aku sadar dengan sepenuhnya sadar bahwa jasad hina lelaki jadzab di hadapanku ini telah tertarik oleh cinta dari Al-Wadud dengan tawasul cinta absurdnya terhadap Nur Hasanah. Yah cinta memang sederhana, sesederhana para pelakunya yang bahkan biasa aku beli dengan murah di Pakem, tapi iapun rumit dan berdiri angkuh di singgasana tak terpahami dan tak mengertian yang begitu suci, suci sekali yang dapat menjadi thariqah, jalan wusul kehadrat Al-Wadud.

Kupeluk jasad itu erat, erat sekali dan aku menangis walau aku tak paham apa yang aku tangisi. Aku hanya ingin menangis sebisaku dan menangis. Tak kuperdulikan bau sampah tubuhnya. Entah kenapa aku tiba-tiba paham betapa cintanya kepada Nur Hasanah jauh dan jauh melebihi cinta Napoleon Bonaparte kepada si janda Josephine de Beauharnaise.

Dulu aku yakin bahwa pecinta dan cinta adalah dua makhluk yang berbeda

Kini kutahu kalau keduanya adalah sama

Terlalu absurd mungkin.

Usman 18

Erwin Arsadani M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar