Pages

Minggu, 06 November 2011

METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH (SUATU TINJAUAN SAIN)

METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH (SUATU TINJAUAN SAIN)[1]

Abdul Mughits, S.Ag., M.Ag.

A. Pendahuluan

Belakangan ini, kajian ilmu falak (ilmu hisab-rukyat) di Indonesia semakin dinamis dan populer di masyarakat, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Empat Lingkungan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditempatkan di bawah satu atap, yakni Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif tertinggi. [2]

Popularitas ilmu falak itu nampak sekali ketika akan memasuki bulan baru Hijriah (Arab: Hijriyyah)/Kamariah (Arab: Qamariyyah) tertentu, seperti awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal (sekaligus penentuan akhir bulan Ramadhan) dan penentuan awal bulan Dzulhijjah (sekaligus tanggal 10 Dzulhijjah-nya). Pada momentum itu, umat Islam---khususnya ahli hisab-rukyat---terfokus kepada tema perbedaan penentuan awal bulan Kamariah di kalangan kelompok-kelompok umat Islam. Perhatian para ahli hisab-rukyat tersebut dilakukan, baik melalui jalur formal di bawah koordinasi pemerintah (Departemen Agama) maupun non-formal yang di luar kordinasi pemerintah, seperti dari kalangan ilmuan, kiai dan pesantren-pesantren secara independen, sebagai basis kultural dalam kaian ilmu falak.

Hal tersebut menggambarkan dinamika ilmu falak yang sedang berkembang di kalangan umat Islam sendiri. Dinamika itu paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam yang secara otomatis banyak yang memperhatikan secara serius dengan masalah-masalah waktu ibadah tersebut, sementara masalah penentuan waktu ibadah ini tidak dapat terlepas dari kajian metodologinya, yakni ilmu hisab-rukyat (practical astronomy)[3].

Kedua, faktor eksternal atau jaringan umat Islam internasional, terutama dengan lembaga-lembaga astronomi di dunia (Islam), dengan negara negara-negara tetangga dan Timur Tengah yang selalu intensif dalam menjalin komunikasi dan kerjasama mengenai ilmu falak, khususnya mengenai kriteria awal bulan Kamariah.[4]

Ketiga, atensi pemerintah terhadap persoalan kebutuhan ibadah umat dalam bentuk fasilitas melalui lembaga-lembaga pemerintahan, seperti Departemen Agama dan Peradilan Agama[5].

Keempat, perhatian beberapa perguruan tinggi umum terhadap kajian astronomi Islam, terutama yang dikaitkan dengan hisab-rukyat, seperti ITB Bandung yang intensif dalam kajian astronominya dengan Observatorium Bosscha-nya[6], disamping juga lembaga pendidikan Islam yang senantiasa mengajarkan dan memberikan perhatian serius terhadap kajian ilmu hisab-rukyat ini, seperti di pesantren-pesantren dan perguruan tinggi Islam, terutama Fakultas Syari'ah.

Kelima, semakin populernya ilmu falak di kalangan umat Islam setelah setelah ditemukan, dikembangkan dan dikenalkannya beberapa metodologi, shoftware dan referensi praktis yang semakin mempermudah dalam mempelajarinya. Kondisi ini telah merubah image umat Islam yang menganggap ilmu falak itu sangat eksklusif menjadi lebih populer, dari anggapan sulit dipalajari menjadi mudah dipelajari, dan dari hanya dapat dipelajari oleh orang-orang tertentu saja menjadi dapat dipelajari oleh semua orang.

Keenam, banyaknya ormas atau paham yang hidup dan berkembang di Indonesia yang secara normatif berdampak pada perbedaan dalam konsep atau teori mengenai tata cara pelaksanaan ibadah, termasuk juga perbedaan dalam hal-hal yang menjadi pendukungnya, seperti kepastian waktu untuk melaksanakan ibadah.

Faktor terakhir di atas adalah faktor yang paling dominan dalam menimbulkan perbedaan aliran (paham) dalam hisab-rukyat di Indonesia. Menurut Laporan Sriyatin Shadiq, setidaknya ada 32 sistem hisab penentuan awal bulan di Indonesia.[7] Sebagai contohnya adalah perbedaan antara Muhammadiyah dan NU dalam penentuan awal bulan Kamariah yang telah menjadi "rutinitas" dalam setiap memasuki bulan baru Kamariah, khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Sehingga, setiap akan memasuki bulan-bulan baru tersebut selalu terlintas dalam benak umat Islam pasti akan terjadi perbedaan dalam penentuan hari dimulainya bulan baru Hijriyah, terutama ketika menurut para ahli hisab ketinggian hilal (irtifa' al-hilal) masih kurang dari 2° atau di atas 2° tetapi tidak berhasil dirukyat pada tanggal 29-nya.[8] Menurut Muhammadiyah yang menggunakan prinsip wujudul hilal, maka esok hari sudah jatuh tanggal 1 bulan baru. Sedangkan menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menggunakan prinsip rukyatul hilal (ru’yah al-hilal) atau istikmal, esok hari belum jatuh tanggal 1 bulan baru, tetapi masih tanggal 30 bulan yang masih berjalan, sedangkan tanggal 1 bulan baru jatuh pada hari lusa. Metode ini yang dikenal dengan istikmal (ikmal).

Contoh perbedaan yang dipicu karena perbedaan dua prinsip tersebut adalah penetapan awal bulan Syawal 1423/2002, awal bulan Dzulhijjah 1423/2003, awal bulan Syawal 1427/2006, dan awal bulan Syawal 1428 H/2007.

Dalam tulisan ini akan disajikan tinjauan sain (ilmu pengetahuan), khususnya cabang astronomi terhadap dua prinsip penentuan awal bulan Kamariah tersebut.

B. Dasar Hukum

Menurut Jumhur Ulama bahwa penentuan awal bulan Ramadhan sebagai bulan yang didalamnya diwajibkan berpuasa dan awal bulan Syawal sebagai dimulainya berbuka dari puasa Ramadhan harus dengan ru’yah al-hilal (rukyatul hilal) atau melihat bulan baru secara langsung (empiris).[9] Hal itu didasarkan kepada firman Allah SWT:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه...[10]

Menurut Jumhur Ulama kata syahida berarti menyaksikan atau melihat (ru'yah).[11] Dalil Al-Qur'an tersebut diperkuat dengan hadis-hadis Nabi SAW. tentang ketentuan memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya yang harus dengan ru'yah al-hilal bi al-fi'l atau melihat hilal secara langsung (fisik-empiris). Hadis-hadis Nabi saw. tersebut diantaranya adalah:

صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين [12]

الشهر تسع و عشرون ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين [13]

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له [14]

Dalil-dalil tersebut kemudian ditegaskan kembali oleh jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali yang bersepakat bahwa awal dan akhir bulan Ramadhan itu harus di-isbat-kan dengan ru'yah hilal.[15]

C. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYYAH MENURUT NU

1. Metode dan Prinsip (Kriteria)

Berdasarkan SK PBNU No: 311/A.II.03/I/1994, tanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994, pasal 1 ayat 1-3:

1. Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/1984 M di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987 M, bahwa penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah wajib didasarkan RUKYATUL-HILAL BIL-FI’LI atau ISTIKMAL. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan rukyat.

2. Bahwa penetapan bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh PEMERINTAH (ISTBATUL-HAKIM). Oleh karena itu agar dilakukan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikan oleh petugas Pemerintah (Departemen Agama).

3. Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh satu dan lain hal, maka agar supaya ISTBATUL-HAKIM dilakukan atas dasar hasil rukyat atau istikmal, maka hasil rukyat yang dilakukan di kalangan NU supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Departemen Agama RI untuk diisbat. Pelaporannya bisa lewat Pengadilan Agama setempat atau langsung kepada Departemen Agama pusat (Badan Hisab dan Rukyat).[16]

Berdasarkan SK PBNU di atas, dalam penentuan awal bulan Kamariah, NU menggunakan prinsip melihat hilal secara langsung di lapangan atau ru’yah al-hilal bi al-fi’l atau istikmal, yakni menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak berhasil dirukyat. Prinsip ini mengikuti pendapat jumhur ulama al-a’immah al-mujtahidun (para pendiri mazhab fiqh) yang sepakat bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal harus melalui rukyatul hilal. Pendapat para ulama ini juga merupakan aktualisasi dari hadis Nabi saw. di atas yang mana kalimah liru’yatih secara usuli menghendaki makna zahir, yaitu “karena melihat hilal (secara langsung)”. Selagi makna zahir masih dapat ditempuh maka tidak boleh dipalingkan (ditakwil) ke makna lain, kecuali dengan dalil yang kuat.[17]

Untuk menentukan batas minimal ketinggian hilal yang dapat dilihat oleh mata, NU membuat kriteria imkanur ru'yah (imkan ar-ru'yah) (selanjutnya sering disebut dengan imkan), yaitu kemungkinan hilal bisa dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat bantu, semacam cermin[18] pada ketinggian minimal 2º di atas ufuk (horison langit), sehingga prinsip ini akan menolak laporan kesaksian hilal, sementara semua ahli hisab masih kurang dari 2º. Jika terjadi hal tersebut di atas maka mengambil langkah istikmal, yaitu menyempurnakan jumlah hari bulan tersebut menjadi 30 hari, sehingga kalau rukyah itu dilakukan tanggal 29, maka hari berikutnya dihitung tanggal 30-nya, sedangkan bulan baru berikutnya akan jatuh lusa hari atau setelah tanggal 30. Istikmal juga ditempuh jika menurut ahli hisab hilal sudah di atas dari 2º tetapi pada saat rukyat (tanggal 29) hilal tidak berhasil dirukyat karena mendung atau tertutup awan atau kabut. Dasarnya adalah hadis-hadis Rasulullah SAW. yang jumlahnya tidak kurang dari 100 buah hadis yang diriwiyatkan oleh banyak perawi.[19] Di antara hadis Nabi tersebut yang populer adalah:

صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين [20]

الشهر تسع و عشرون ليلة فلا مصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين [21]

Teori di atas sering disebut dengan ru'yah al-hilal bi al-fi'l atau istikmal, melihat hilal dengan praktek langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam atau menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi 30 jika hilal tidak berhasil dirukyat.[22] Jika menurut hisab ketinggian hilal masih di bawah ufuk (negatif) atau kurang dari 2º, NU sudah dapat memastikan jauh sebelumnya melalui kalender-kalender NU, bahwa penentuan awal bulan ditempuh melalui istikmal, meskipun kegiatan rukyat juga sering dilakukan pada tanggal 29-nya atau pada hari setelah terjadinya konjungsi. Jika menurut hisab ketinggian hilal di atas 2º, maka keputusannya menunggu hasil rukyat di daerah-daerah dan menunggu sosialisasi(ikhbar)nya dari PBNU.

Dalam prinsip ini, kedudukan hisab sebagai pendukung rukyat, yakni untuk menentukan posisi bulan dan waktu ketika matahari terbenam.

Prinsip imkan 2º tersebut didasarkan kepada pengalaman empiris dari kegiatan rukyat selama ini, yakni setiap hilal dapat dirukyat, ketinggiannya selalu di atas 2º.[23] Disamping itu, secara normatif juga berdasarkan kepada kitab al-Khulasah al-Wafiah karya K.H. Zubair al-Jailani.[24]

Selama ini batas imkan 2º tersebut sudah diterapkan oleh PBNU dan para ahli hisab NU, meskipun secara formal belum tertulis dalam SK PBNU tentang hisab rukyat ini. Di samping NU, Pemerintah RI melalui Departemen Agama, kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) juga berpegang prinsip imkan tersebut. Dulu, Persis juga pernah berpegang kepada prinsip ini, sebelum berpegang kepada prinsip wujud al-hilal[25] seperti sekarang ini.

2. Tinjaun Astronomi

elongasi, tidak usah rukyat kalau masih di bawah ufuk atau di bawah 2 derajat

Memang, menurut teori ilmu pengetahuan (positifisme), pengalaman empiris merupakan data yang valid karena terdapat kesesuaian antara teori dan kenyataan di lapangan. Tetapi khusus untuk pengalaman rukyah al-hilal ini tidak dapat disimpulkan menjadi kebenaran mutlak karena banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti bahwa setiap ada momentum ru’yah al-hilal, hal itu dilakukan oleh banyak orang dan banyak pihak (ormas) pada tempat melihat yang berbeda-beda serta dalam cuaca yang tidak selalu sama.

Oleh karena itu kemungkinan ditemukannya kasus ru'yah al-hilal yang keluar dari prinsip imkan tersebut juga sangat mungkin terjadi, seperti SK Menteri Agama Nomor: 70/1989 tentang rukyatul hilal bulan Syawal 1409 H (Jum'at, 7 April 1989) dengan ketinggian hilal 0º 56' 30", jauh di bawah 2º tetapi dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa hilal berhasil dilihat. Di lain pihak, ada teori yang membuat standar elongasi (jarak antara bulan dan matahari) minimal 8º, seperti teori Danjon. Hal itu juga berdsasarkan pengalaman empiris. Dalam tinjauan astronomi ini hanya dibatasi kepada obyek standar imkan ar-ru’yah dengan ketinggian hilal minimal 2º tersebut menurut pengalaman empiris para ahli falak (astronomi) di seluruh dunia, mulai abad klasik sampai kontemporer.

Sebagaimana dimaklumi bahwa imkan ar-ru’yah adalah kemungkinan posisi (ketinggian dan elongasi) hilal dapat dilihat oleh mata secara langsung. Di kalangan ahli astronomi (falak, hisab-rukyat) dan kelompok-kelompok umat Islam mempunyai kriteria imkan yang tidak sama, menurut pemahaman, pengalaman dan keyakinannya masing-masing, diantaranya adalah:

a. Kitab-kitab ilmu falak klasik dengan standar ketinggian (irtifa’) hilal minimal 7º.

b. Danjon (1936) dengan standar jarak antara matahari dan bulan (elongasi) minimal 8º. Dia mengatakan: “The Moon’s Crescent could not be seen closer to the Sun for elongation less than 8º.”

c. Muammer Diezer dengan standar irtifa’ minimal 5º dan elongasi 8º. Pendapat Diezer ini memperkuat kriteria Danjon. Kriteria Diezer ini merupakan hasil penelitiannya di Candilly Observatory. Kriteria ini sangat empiris dan diterima para ahli hisab internasional dalam Konferensi Islam di Istambul tahun 1978.

d. Konferensi Almanak Internasional Istambul Turki tahun 1978 dengan standar irtifa’ 5º dan elongasi 8º.

e. Muhammad Ilyas Malaysia dengan irtifa’ 5º dan elongasi 10,5º.

f. K.H. Zubeir al-Jailani dalam bukunya al-Khulasah al-Wafiyyah dengan kriteria cahaya Hilal 1/5 jari (usbu’), irtifa’ minimal 3º dan elongasi minimal 3º. Tetapi keriteria ini dia katakan sebagai pendapat sebagaian ulama.

وقد اختلف في حد إمكان الرؤية, فبعضهم أثبته إذا كان نور الهلال خمس أصبع وقوس مكثه ثلاث درج أيضا, وإن نقصت من كل واحد من تلك الثلاثة درجة عسرت الرؤية, وإن كان واحد أو إثنان منها أقل من درجتين فلا يرى. (الخلاصة الوافية: 132)

g. Jama’ah Persatuan Islam (Persis), dulu pernah berpegang kepada imkan minimal 2º.

h. PBNU berpegang kepada imkan minimal 2º, sehingga PBNU dipastikan akan menolak jika ada laporan rukyat sementara menurut ahli hisab, irtifa’ hilal masih kurang dari 2º.

i. Departemen Agama RI dengan irtifa’ minimal 2º, elongasi minimal 3º dan umur bulan dari ijtima’ (konjungsi) minimal 8 jam.

j. Kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) dengan standar irtifa’ minimal 2º.

k. Dan lain-lain, seperti kriteria al-Biruni, Yallop dan Shaukat.

l. Rekor dunia hilal termuda yang dapat dilihat, yaitu hasil risetnya Pepin (1996) di Sentinel Arizona dengan irtifa’ 6º 34’ 45”, fraction 0,6% dan umur bulan 12 jam 7 menit. Riset ini dilakukan untuk menentukan awal Ramadhan 1417 H atau 20 januari 1996.

m. Hilal tertipis dan terendah, hasil riset Zaki al-Mustofa dan Moataz N. Kordi dari King Abdulazis City for Science and Technology and Gephysical Research (KACST). Ketika menentukan awal Muharram 1423 H/Jum’at, 14 Maret 2002 di Laban, 30 km barat Riyadh. Hilal berhasil dirukyat dalam irtifa’ 4º 09’, umur bulan 12 jam 58 menit dan fraction 0,5%.

n. Mohammad Odeh dari ICOP/JAS Yordania pernah berhasil melihat hilal dalam ketinggian mendekati rekor dunia (umur bulan 12 jam 6 menit) di atas yang dikatakan sebagai rekor JAS selama ini, yakni dengan umur bulan 13 jam 36 menit, elongasi 8,2o irtifa

Perbedaan kriteria imkan itu disebabkan—paling tidak—oleh dua hal:

1. Perbedaan metodologi dalam imkanurrukyat. Sejumlah riset menggunakan alat bantu, seperti teleskop atau sensor pencitra digital, sementara yang lain menggunakan mata telanjang atau binokular. Riset lain hanya mengandalkan kesaksian yang dicocokkan dengan hasil hisab pada saat itu.

2. Perbedaan lokasi rukyat yang berakibat perbedaan kondisi lingkungan: berkabut, suhu, tekanan dan kelembapan udara dll.

D. AWAL BULAN QAMARIYYAH MENURUT MUHAMMADIYAH

Menurut Muhammadiyah bahwa awal bulan Qamariyah itu didasarkan pada pedoman hisab hakiki dengan prinsip wujudul hilal (wujud al-hilal), yaitu jika matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan baru, berapapun selisih waktunya atau berapapun tinggi hilal di atas ufuk. Prinsip ini sering disebut dengan ru'yah al-hilal bi al-'ilm (“melihat” hilal dengan ilmu pengetahuan atau metode hisab). Menurut Muhammadiyah, prinsip ini merupakan perpaduan antara wilayah normatif dan empiris atau disebut dengan "jalan tengah". Prinsip hisab hakiki dengan sistem wujudul hilal ini digagas oleh Kyai Kanjeng Penghulu Muhammad Wardan Diponingrat (1911-1991), mantan Pimpinan Pusat Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah, anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI (1973-1990) sejak tahun 1957. [26]

Secara terperinci, prinsip yang dipegangi Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:[27] Jika hilal tidak mungkin dirukyat karena masih di bawah ufuk maka Muhammadiyah mengambil langkah istikmal, sebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi jika hilal tidak mungkin dirukyat karena terttutup awan atau belum imkan, maka jalan keluarnya adalah hisab. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan:

ولا مانع بالحساب [28]

“Tidak ada yang menghalangi dengan hisab.”

Prinsip tersebut didasarkan pada hadis Nabi yang diriwiyatkan muttafaq ‘alaih (Imam al-Bukhari dan Muslim) dari Ibn ‘Umar, yaitu:

فإن غم عليكم فاقدروا له

“Maka apabila hilal itu tertutup awan, maka kadarkanlah.”

Kemudian kata “kadarkanlah” di-munasabah-kan kepada firman Allah SWT.:

هو الذي جعل الشمس ضياء و القمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين و الحساب [29]

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.”

Oleh karena itu, dalam penentuan awal bulan Qamariyah, Muhammadiyah berpegang pada hisab terlebih dahulu, sedangkan rukyat hanya sebagai penguat hasil hisab saja, sehingga jauh sebelumnya Muhammadiyah sudah dapat mengumumkan keputusannya kepada masyarakat. Alasannya adalah karena sistem hisab pada masa sekarang ini yang didukung disiplin astronomi kontemporer sudah teruji dan dapat dijamin akurasinya, sehingga tidak perlu pembuktian di lapangan.

Jadi Muhammadiyah mengartikan lafal ru’yah dalam hadis-hadis di atas bukan melihat secara langsung, tetapi cukup melalui hisab atau perhitungan rumus-rumus yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan atau ru’yah al-hilal bi al’ilm.

E. IKHTITAM

Demikian uraian singkat tentang prinsip penentuan awal bulan Qamariyah menurut NU dan Muhammadiyah yang nampak sekali berlawanan. Tetapi karena semua itu adalah teori yang dibangun manusia berdasarkan pemahaman (penafsiran) terhadap nas yang didukung ilmu pengetahuan, khususnya astronomi dan ilmu-ilmu pendukung lainnya serta berdasarkan pengakuan “pengalaman empiris” maka masih terbuka untuk diuji kebenarnnya, baik alat uji itu dengan menggunakan prinsip-prinsip istinbat dalam hukum Islam atau metode penafsiran terhadap nas ataupun dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang teori-teorinya terus berkembang dinamis.

Artinya kebenaran teori tersebut harus terus diteliti secara kritis. Sebagaimana dalam sejarah ilmu pengetahuan bahwa suatu teori dinyatakan benar saat ini belum tentu benar di esok hari, atau masa-masa yang akan datang, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Harapannya adalah jika teori-teori tersebut terus diteliti secara kritis, diuji validitasnya, dikembangkan secara komprehensip, suatu saat akan mencapai pada titik temu sehingga kebersamaan dan persatuan umat itu akan dibangun.

Kalau pendapat itu disebut sebagai hasil “ijtihad” umat Islam, maka dalam kerangka hukum Islam (usul al-fiqh), kebenaran itu pun masih sederajat dengan dalil zanni (prasangka), artinya umat masih memiliki kebebasan memilih sesaui dengan keyakinanya. Wa Allah A’lam bi as-Sawwab.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Karim.

Azhari, Susiknan, "Problematika Imkanur Rukyat sebagai Acuan Penyusunan Kalender Islam Nasional", dalam Muhammadiyah dan Reformasi, cet.1, Yogyakarta: Aditya Media, 2000.

------, Hisab dan Rukyat, Wacana untuk Membenagun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

------, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992, Juz I.

Hambali, Slamet, "Pembinaan Hisab Rukyat di Nahdlatul Ulama", makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Hisab Rukyat, Departemen Agama RI, tanggal 16-17 Nopember 2006 di Cisarua Bogor.

Jailani, Zubair al-, al-Khulasah al-Wafiyyah fi al-Falak, Kudus: Menara Kudus, t.t.

Jaziri, 'Abd ar-Rahman al-, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2004, Juz I.

Malasan, Hakim M., "UPT Observatorium Bosscha" dalam Adijana Wisni Ariasti dkk. (penyunting), Perjalanan Mengenal Asteronomi, Bandung: UPT Observatorium Bosscha ITB, 1995.

Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal dalam Penetapan Bulan Bari Penanggalan Qamariyah di Indonesia" dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, cet. 1, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

Muslim, Imam, Sahih Muslim Syarkh an-Nawawi, Ttp.: Al-Matba‘ah al-Misriyyah wa Maktabatuha, 1934, Juz I.

Raharto, Moedji, "Teknologi Optik sebagai Pembantu Penetapan Awal Bulan Hijriyah/Qamariyah", dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Rusyd, Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Ttp.: Syirkah an-Nur Asia, t.t. Juz I.

Shadiq, Sriyatin, "Sistem Hisab Menurut Sullam an-Nayyirain dalam Perspektif Sosiologik" dalam dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Wardan, Muhammad, Hisab 'Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Penerbit Siaran, 1957.

Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. 3 Bairut: Dar al-Fikr, 1989, Juz II.



[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 2007.

[2] Salah satu akibat dari perubahan strutkur sitem peradilan tersebut adalah perubahan kebijakan pemerintah dalam pembinaan ilmu falak dari Peradilan Agama (PA) kepada Departemen Agama (Depag) RI. Ketika ilmu falak masih dibina langsung oleh PA langsung, terasa sekali eklusifitasnya sampai ada kesan seolah-olah otoritas ilmu falak itu hanya pada para hakim agama saja. Setelah pembinaannya diambilalih oleh Depag RI yang secara struktural di bawah Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syari’ah Depag RI, maka ilmu falak semakin populer di kalangan umat Islam karena banyak dilakukan pelatihan-pelatihan untuk umat Islam dan pejabat pemerintahan di lingkungan Depag, seperti kepala-kepala Kantor Urusan Agama (KUA), sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi DIY.

[3] Ilmu falak secara global dibagi menjadi dua bagian, yaitu Theoretical Astronomy (Ilmu Falak 'Ilmi) dan Practical Astronomy (Ilmu Falak 'Amali). Yang kedua inilah yang diamksud dengan Ilmu Hisab. Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, cet. 1 (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), hlm. 4.

[4]Seperti: Mohammad Ilyas dari Astronomy and Atmospheric Research Unit-University of Science Malaysia, Umm al-Qura Calendar Saudi Arabia, Mohammad SH. Odeh dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) Yordania, Jordanian Astronomical Society (JAS), Islamic Crescent’s Observation Project (ICOP) Saudi Arabia, the International Occultation Timing Association (IOTA), A. H. Sultan dari Physics Department-Sana’a University Yaman, South African Astronomical Observatory (SAAO), Royal Astronomical Society (RAS) NASA USA, Islamic Society of North America (ISNA), dll.

[5] Sebelum ditetapkannya UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Empat Lingkungan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditempatkan di bawah satu atap, yakni Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif tertinggi, kegiatan hisab-rukyat ini dikordinir langsung oleh Peradilan Agama (PA), baik dalam hal pembinaan maupun teknis-operasioanlnya, yakni ketika PA masih bi bawah pembinaan Depag RI. Pada waktu itu kegiatan hisab-rukyat kurang memasyarakat dan terkesan eklusif hanya didomoinasi oleha para hakim agama. Tetapi setelah Sistem Peradilan Satu Atap yang mana kegiatan hisab-rukyat ini dikordinasi langsung oleh Depag melalui kantor-kantor wilayahnya kegiatan hisab-rukyat semakin memasyarakat dan semakin banyak orang yang tertarik dan mempelajari ilmu hisab-rukyat ini. Dalam system yang baru ini PA hanya diberi wewenang untuk menjadi saksi di lapangan dan atau menyumpah orang yang melihat hilal.

[6]Observatorium Bosscha (Peneropongan Bintang Bosscha) Lembang Bandung, dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht, didirikan oleh Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging, yakni perkumpulan ahli bintang Hindia Belanda. Karel Albert Rudolf Bosscha (1861-1928) adalah sponsor utama dan bersama NISV memilih Lembang sebagai lokasinya. Bosscha bukanlah seorang ilmuwan tetapi seorang pengusaha perkebunan the di Malabar yang kaya raya dan cinta ilmu pengetahuan. Pembangunan Observatorium Bosscha ini dimulai pada tahun 1023-1928. Pada waktu itu merupakan salah satu dari 17 Observatorium di belahan bumi selatan dan satu-satunya yang berlokasi terdekat dengan Katulistiwa. Observatorium ini terletak pada 107º BT dan 6º 49' LS dengan ketinggian 1.310 m dari permukaan air laut. Lihat Hakim M. Malasan, "UPT Observatorium Bosscha" dalam Adijana Wisni Ariasti dkk. (penyunting), Perjalanan Mengenal Asteronomi, (Bandung: UPT Observatorium Bosscha ITB, 1995), hlm. 8-11.

[7] Sriyatin Shadiq, "Sistem Hisab Menurut Sullam an-Nayyirain dalam Perspektif Sosiologik" dalam dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004), hlm. 67.

[8] Karena memang secara syar’i, bahwa rukyatul hilal itu dilakukan pada setiap tanggal 29, meskipun secara hisab (perkiraan, perhitungan) masih di bawah ufuk ketika matahari terbenam.

[9] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989), II: 597-608.

[10] Q.S. Al-Baqarah (2): 165.

[11] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., II: 598.

[12] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438 dan; al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, I: 326-327. Hadis diriwiyatkan dari Abu Hurairah.

[13] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438. Hadis diriwiyatkan dari Ibn 'Umar.

[14] Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1773.

[15]Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh…, I: 462-466.

[16] Tim Penyusun, “Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama”, (Jakarta: Penerbit Lajnah Falakiyah PBNU, 2006), hlm. 14-15.

[17]‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12 (Kuwait: dar al-Qalam, 1398/1978), hlm. 161.

[18] Prinsip ini ditegaskan oleh Ibn Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj, sebagaimana dikutip Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal dalam Penetapan Bulan Bari Penanggalan Qamariyah di Indonesia" dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat…, hlm. 211.

[19] Diantaranya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, Malik, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim, ad-Dar Qutni, al-Baihaqi dll. Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal…", hlm. 209.

[20] Imam Muslim, Sahih Muslim Syarkh an-Nawawi, (Ttp.: Al-Matba‘ah al-Misriyyah wa Maktabatuha, 1934), I: 436-438 dan; Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), I: 326-327. Hadis diriwiyatkan dari Abu Hurairah.

[21] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438. Hadis diriwiyatkan dari Ibn 'Umar.

[22] Tentang prinsip ru'yatul hilal bil fi'li atau istikmal ini berdasarkan SK PBNU No.: 311/A.II.03/I/1994, tertanggal 1 Sya'ban 1414 H/13 Januari 1994, tentang Dasar-dasar Penetapan Awal Bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Disamping itu juga merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang secara tegas mengahruskan ru'yatul hilal bil fi'li. Bahkan imam empat mazhab menegaskan bahwa ruyatul hilal itu hukumnya fardu kifayah. Lihat 'Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2004), I: 462-466.

[23] Disampaikan oleh K.H. Drs. Slamet Hambali, salah satu pengurus Lajnah Falakiyah (LF) PBNU, dalam Lokakarya Nasional Hisab Rukyat, Departemen Agama RI, tanggal 16-17 Nopember 2006 di Cisarua Bogor.

[24]Zubair al-Jailani, al-Khulasah al-Wafiyyah fi al-Falak, (Kudus: Menara Kudus, t.t.). hlm.

[25] Tetapi prinsip wujud al-hilal Persis ini berbeda dengan Muhammadiyah. Kalau wujud-nyaPersis mensyaratkan bahwa ketika matahari terbenam, hilal harus sudah positif di atas ufuk untuk seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan Muhammadiyah tidak harus sudah positif semua, yang terpenting sudah ada bagian wilayah yang positif, meskipun wilayah lainnya masih negatif di bawah ufuk. Oleh karena itu, meskipun kedua ormas tersebut mempunyai prinsip wujud al-hilal, tetapi sangat mungkin sekali berbeda dalam menetukan awal bulan Kamariyah, seperti pada penentuan awal bulan Syawal 1428 H.

[26]Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, (Yogyakarta: Penerbit Siaran, 1957), hlm. 43. Lihat juga Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 3-23

[27] Lihat Abdur Racim, “Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Muhammadiyah”, makalah disampaikan dalam Workshop Nasional “Metodologi Penetapan Awal Bulan Qomariah Model Muhammadiyah” Yogyakarta, 19-20 Oktober 2002, hlm. 4-7.

[28] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 191.

[29] Q.S. Yunus [10]: 25.

METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH (SUATU TINJAUAN SAIN)[1]

Abdul Mughits, S.Ag., M.Ag.

A. Pendahuluan

Belakangan ini, kajian ilmu falak (ilmu hisab-rukyat) di Indonesia semakin dinamis dan populer di masyarakat, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Empat Lingkungan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditempatkan di bawah satu atap, yakni Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif tertinggi. [2]

Popularitas ilmu falak itu nampak sekali ketika akan memasuki bulan baru Hijriah (Arab: Hijriyyah)/Kamariah (Arab: Qamariyyah) tertentu, seperti awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal (sekaligus penentuan akhir bulan Ramadhan) dan penentuan awal bulan Dzulhijjah (sekaligus tanggal 10 Dzulhijjah-nya). Pada momentum itu, umat Islam---khususnya ahli hisab-rukyat---terfokus kepada tema perbedaan penentuan awal bulan Kamariah di kalangan kelompok-kelompok umat Islam. Perhatian para ahli hisab-rukyat tersebut dilakukan, baik melalui jalur formal di bawah koordinasi pemerintah (Departemen Agama) maupun non-formal yang di luar kordinasi pemerintah, seperti dari kalangan ilmuan, kiai dan pesantren-pesantren secara independen, sebagai basis kultural dalam kaian ilmu falak.

Hal tersebut menggambarkan dinamika ilmu falak yang sedang berkembang di kalangan umat Islam sendiri. Dinamika itu paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam yang secara otomatis banyak yang memperhatikan secara serius dengan masalah-masalah waktu ibadah tersebut, sementara masalah penentuan waktu ibadah ini tidak dapat terlepas dari kajian metodologinya, yakni ilmu hisab-rukyat (practical astronomy)[3].

Kedua, faktor eksternal atau jaringan umat Islam internasional, terutama dengan lembaga-lembaga astronomi di dunia (Islam), dengan negara negara-negara tetangga dan Timur Tengah yang selalu intensif dalam menjalin komunikasi dan kerjasama mengenai ilmu falak, khususnya mengenai kriteria awal bulan Kamariah.[4]

Ketiga, atensi pemerintah terhadap persoalan kebutuhan ibadah umat dalam bentuk fasilitas melalui lembaga-lembaga pemerintahan, seperti Departemen Agama dan Peradilan Agama[5].

Keempat, perhatian beberapa perguruan tinggi umum terhadap kajian astronomi Islam, terutama yang dikaitkan dengan hisab-rukyat, seperti ITB Bandung yang intensif dalam kajian astronominya dengan Observatorium Bosscha-nya[6], disamping juga lembaga pendidikan Islam yang senantiasa mengajarkan dan memberikan perhatian serius terhadap kajian ilmu hisab-rukyat ini, seperti di pesantren-pesantren dan perguruan tinggi Islam, terutama Fakultas Syari'ah.

Kelima, semakin populernya ilmu falak di kalangan umat Islam setelah setelah ditemukan, dikembangkan dan dikenalkannya beberapa metodologi, shoftware dan referensi praktis yang semakin mempermudah dalam mempelajarinya. Kondisi ini telah merubah image umat Islam yang menganggap ilmu falak itu sangat eksklusif menjadi lebih populer, dari anggapan sulit dipalajari menjadi mudah dipelajari, dan dari hanya dapat dipelajari oleh orang-orang tertentu saja menjadi dapat dipelajari oleh semua orang.

Keenam, banyaknya ormas atau paham yang hidup dan berkembang di Indonesia yang secara normatif berdampak pada perbedaan dalam konsep atau teori mengenai tata cara pelaksanaan ibadah, termasuk juga perbedaan dalam hal-hal yang menjadi pendukungnya, seperti kepastian waktu untuk melaksanakan ibadah.

Faktor terakhir di atas adalah faktor yang paling dominan dalam menimbulkan perbedaan aliran (paham) dalam hisab-rukyat di Indonesia. Menurut Laporan Sriyatin Shadiq, setidaknya ada 32 sistem hisab penentuan awal bulan di Indonesia.[7] Sebagai contohnya adalah perbedaan antara Muhammadiyah dan NU dalam penentuan awal bulan Kamariah yang telah menjadi "rutinitas" dalam setiap memasuki bulan baru Kamariah, khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Sehingga, setiap akan memasuki bulan-bulan baru tersebut selalu terlintas dalam benak umat Islam pasti akan terjadi perbedaan dalam penentuan hari dimulainya bulan baru Hijriyah, terutama ketika menurut para ahli hisab ketinggian hilal (irtifa' al-hilal) masih kurang dari 2° atau di atas 2° tetapi tidak berhasil dirukyat pada tanggal 29-nya.[8] Menurut Muhammadiyah yang menggunakan prinsip wujudul hilal, maka esok hari sudah jatuh tanggal 1 bulan baru. Sedangkan menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menggunakan prinsip rukyatul hilal (ru’yah al-hilal) atau istikmal, esok hari belum jatuh tanggal 1 bulan baru, tetapi masih tanggal 30 bulan yang masih berjalan, sedangkan tanggal 1 bulan baru jatuh pada hari lusa. Metode ini yang dikenal dengan istikmal (ikmal).

Contoh perbedaan yang dipicu karena perbedaan dua prinsip tersebut adalah penetapan awal bulan Syawal 1423/2002, awal bulan Dzulhijjah 1423/2003, awal bulan Syawal 1427/2006, dan awal bulan Syawal 1428 H/2007.

Dalam tulisan ini akan disajikan tinjauan sain (ilmu pengetahuan), khususnya cabang astronomi terhadap dua prinsip penentuan awal bulan Kamariah tersebut.

B. Dasar Hukum

Menurut Jumhur Ulama bahwa penentuan awal bulan Ramadhan sebagai bulan yang didalamnya diwajibkan berpuasa dan awal bulan Syawal sebagai dimulainya berbuka dari puasa Ramadhan harus dengan ru’yah al-hilal (rukyatul hilal) atau melihat bulan baru secara langsung (empiris).[9] Hal itu didasarkan kepada firman Allah SWT:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه...[10]

Menurut Jumhur Ulama kata syahida berarti menyaksikan atau melihat (ru'yah).[11] Dalil Al-Qur'an tersebut diperkuat dengan hadis-hadis Nabi SAW. tentang ketentuan memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya yang harus dengan ru'yah al-hilal bi al-fi'l atau melihat hilal secara langsung (fisik-empiris). Hadis-hadis Nabi saw. tersebut diantaranya adalah:

صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين [12]

الشهر تسع و عشرون ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين [13]

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له [14]

Dalil-dalil tersebut kemudian ditegaskan kembali oleh jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali yang bersepakat bahwa awal dan akhir bulan Ramadhan itu harus di-isbat-kan dengan ru'yah hilal.[15]

C. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYYAH MENURUT NU

1. Metode dan Prinsip (Kriteria)

Berdasarkan SK PBNU No: 311/A.II.03/I/1994, tanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994, pasal 1 ayat 1-3:

1. Pada dasarnya Lajnah Falakiyah NU tetap berpegang pada putusan Muktamar NU ke-27 tahun 1405 H/1984 M di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tahun 1409 H/1987 M, bahwa penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah wajib didasarkan RUKYATUL-HILAL BIL-FI’LI atau ISTIKMAL. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melakukan rukyat.

2. Bahwa penetapan bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlaku umum bagi segenap lapisan kaum muslimin di Indonesia dilakukan oleh PEMERINTAH (ISTBATUL-HAKIM). Oleh karena itu agar dilakukan semaksimal mungkin adanya penyelenggaraan rukyat yang disaksikan oleh petugas Pemerintah (Departemen Agama).

3. Bila hal ini tidak dimungkinkan oleh satu dan lain hal, maka agar supaya ISTBATUL-HAKIM dilakukan atas dasar hasil rukyat atau istikmal, maka hasil rukyat yang dilakukan di kalangan NU supaya sesegera mungkin dilaporkan kepada Pemerintah c/q Departemen Agama RI untuk diisbat. Pelaporannya bisa lewat Pengadilan Agama setempat atau langsung kepada Departemen Agama pusat (Badan Hisab dan Rukyat).[16]

Berdasarkan SK PBNU di atas, dalam penentuan awal bulan Kamariah, NU menggunakan prinsip melihat hilal secara langsung di lapangan atau ru’yah al-hilal bi al-fi’l atau istikmal, yakni menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak berhasil dirukyat. Prinsip ini mengikuti pendapat jumhur ulama al-a’immah al-mujtahidun (para pendiri mazhab fiqh) yang sepakat bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal harus melalui rukyatul hilal. Pendapat para ulama ini juga merupakan aktualisasi dari hadis Nabi saw. di atas yang mana kalimah liru’yatih secara usuli menghendaki makna zahir, yaitu “karena melihat hilal (secara langsung)”. Selagi makna zahir masih dapat ditempuh maka tidak boleh dipalingkan (ditakwil) ke makna lain, kecuali dengan dalil yang kuat.[17]

Untuk menentukan batas minimal ketinggian hilal yang dapat dilihat oleh mata, NU membuat kriteria imkanur ru'yah (imkan ar-ru'yah) (selanjutnya sering disebut dengan imkan), yaitu kemungkinan hilal bisa dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat bantu, semacam cermin[18] pada ketinggian minimal 2º di atas ufuk (horison langit), sehingga prinsip ini akan menolak laporan kesaksian hilal, sementara semua ahli hisab masih kurang dari 2º. Jika terjadi hal tersebut di atas maka mengambil langkah istikmal, yaitu menyempurnakan jumlah hari bulan tersebut menjadi 30 hari, sehingga kalau rukyah itu dilakukan tanggal 29, maka hari berikutnya dihitung tanggal 30-nya, sedangkan bulan baru berikutnya akan jatuh lusa hari atau setelah tanggal 30. Istikmal juga ditempuh jika menurut ahli hisab hilal sudah di atas dari 2º tetapi pada saat rukyat (tanggal 29) hilal tidak berhasil dirukyat karena mendung atau tertutup awan atau kabut. Dasarnya adalah hadis-hadis Rasulullah SAW. yang jumlahnya tidak kurang dari 100 buah hadis yang diriwiyatkan oleh banyak perawi.[19] Di antara hadis Nabi tersebut yang populer adalah:

صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين [20]

الشهر تسع و عشرون ليلة فلا مصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين [21]

Teori di atas sering disebut dengan ru'yah al-hilal bi al-fi'l atau istikmal, melihat hilal dengan praktek langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam atau menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi 30 jika hilal tidak berhasil dirukyat.[22] Jika menurut hisab ketinggian hilal masih di bawah ufuk (negatif) atau kurang dari 2º, NU sudah dapat memastikan jauh sebelumnya melalui kalender-kalender NU, bahwa penentuan awal bulan ditempuh melalui istikmal, meskipun kegiatan rukyat juga sering dilakukan pada tanggal 29-nya atau pada hari setelah terjadinya konjungsi. Jika menurut hisab ketinggian hilal di atas 2º, maka keputusannya menunggu hasil rukyat di daerah-daerah dan menunggu sosialisasi(ikhbar)nya dari PBNU.

Dalam prinsip ini, kedudukan hisab sebagai pendukung rukyat, yakni untuk menentukan posisi bulan dan waktu ketika matahari terbenam.

Prinsip imkan 2º tersebut didasarkan kepada pengalaman empiris dari kegiatan rukyat selama ini, yakni setiap hilal dapat dirukyat, ketinggiannya selalu di atas 2º.[23] Disamping itu, secara normatif juga berdasarkan kepada kitab al-Khulasah al-Wafiah karya K.H. Zubair al-Jailani.[24]

Selama ini batas imkan 2º tersebut sudah diterapkan oleh PBNU dan para ahli hisab NU, meskipun secara formal belum tertulis dalam SK PBNU tentang hisab rukyat ini. Di samping NU, Pemerintah RI melalui Departemen Agama, kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) juga berpegang prinsip imkan tersebut. Dulu, Persis juga pernah berpegang kepada prinsip ini, sebelum berpegang kepada prinsip wujud al-hilal[25] seperti sekarang ini.

2. Tinjaun Astronomi

elongasi, tidak usah rukyat kalau masih di bawah ufuk atau di bawah 2 derajat

Memang, menurut teori ilmu pengetahuan (positifisme), pengalaman empiris merupakan data yang valid karena terdapat kesesuaian antara teori dan kenyataan di lapangan. Tetapi khusus untuk pengalaman rukyah al-hilal ini tidak dapat disimpulkan menjadi kebenaran mutlak karena banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti bahwa setiap ada momentum ru’yah al-hilal, hal itu dilakukan oleh banyak orang dan banyak pihak (ormas) pada tempat melihat yang berbeda-beda serta dalam cuaca yang tidak selalu sama.

Oleh karena itu kemungkinan ditemukannya kasus ru'yah al-hilal yang keluar dari prinsip imkan tersebut juga sangat mungkin terjadi, seperti SK Menteri Agama Nomor: 70/1989 tentang rukyatul hilal bulan Syawal 1409 H (Jum'at, 7 April 1989) dengan ketinggian hilal 0º 56' 30", jauh di bawah 2º tetapi dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa hilal berhasil dilihat. Di lain pihak, ada teori yang membuat standar elongasi (jarak antara bulan dan matahari) minimal 8º, seperti teori Danjon. Hal itu juga berdsasarkan pengalaman empiris. Dalam tinjauan astronomi ini hanya dibatasi kepada obyek standar imkan ar-ru’yah dengan ketinggian hilal minimal 2º tersebut menurut pengalaman empiris para ahli falak (astronomi) di seluruh dunia, mulai abad klasik sampai kontemporer.

Sebagaimana dimaklumi bahwa imkan ar-ru’yah adalah kemungkinan posisi (ketinggian dan elongasi) hilal dapat dilihat oleh mata secara langsung. Di kalangan ahli astronomi (falak, hisab-rukyat) dan kelompok-kelompok umat Islam mempunyai kriteria imkan yang tidak sama, menurut pemahaman, pengalaman dan keyakinannya masing-masing, diantaranya adalah:

a. Kitab-kitab ilmu falak klasik dengan standar ketinggian (irtifa’) hilal minimal 7º.

b. Danjon (1936) dengan standar jarak antara matahari dan bulan (elongasi) minimal 8º. Dia mengatakan: “The Moon’s Crescent could not be seen closer to the Sun for elongation less than 8º.”

c. Muammer Diezer dengan standar irtifa’ minimal 5º dan elongasi 8º. Pendapat Diezer ini memperkuat kriteria Danjon. Kriteria Diezer ini merupakan hasil penelitiannya di Candilly Observatory. Kriteria ini sangat empiris dan diterima para ahli hisab internasional dalam Konferensi Islam di Istambul tahun 1978.

d. Konferensi Almanak Internasional Istambul Turki tahun 1978 dengan standar irtifa’ 5º dan elongasi 8º.

e. Muhammad Ilyas Malaysia dengan irtifa’ 5º dan elongasi 10,5º.

f. K.H. Zubeir al-Jailani dalam bukunya al-Khulasah al-Wafiyyah dengan kriteria cahaya Hilal 1/5 jari (usbu’), irtifa’ minimal 3º dan elongasi minimal 3º. Tetapi keriteria ini dia katakan sebagai pendapat sebagaian ulama.

وقد اختلف في حد إمكان الرؤية, فبعضهم أثبته إذا كان نور الهلال خمس أصبع وقوس مكثه ثلاث درج أيضا, وإن نقصت من كل واحد من تلك الثلاثة درجة عسرت الرؤية, وإن كان واحد أو إثنان منها أقل من درجتين فلا يرى. (الخلاصة الوافية: 132)

g. Jama’ah Persatuan Islam (Persis), dulu pernah berpegang kepada imkan minimal 2º.

h. PBNU berpegang kepada imkan minimal 2º, sehingga PBNU dipastikan akan menolak jika ada laporan rukyat sementara menurut ahli hisab, irtifa’ hilal masih kurang dari 2º.

i. Departemen Agama RI dengan irtifa’ minimal 2º, elongasi minimal 3º dan umur bulan dari ijtima’ (konjungsi) minimal 8 jam.

j. Kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) dengan standar irtifa’ minimal 2º.

k. Dan lain-lain, seperti kriteria al-Biruni, Yallop dan Shaukat.

l. Rekor dunia hilal termuda yang dapat dilihat, yaitu hasil risetnya Pepin (1996) di Sentinel Arizona dengan irtifa’ 6º 34’ 45”, fraction 0,6% dan umur bulan 12 jam 7 menit. Riset ini dilakukan untuk menentukan awal Ramadhan 1417 H atau 20 januari 1996.

m. Hilal tertipis dan terendah, hasil riset Zaki al-Mustofa dan Moataz N. Kordi dari King Abdulazis City for Science and Technology and Gephysical Research (KACST). Ketika menentukan awal Muharram 1423 H/Jum’at, 14 Maret 2002 di Laban, 30 km barat Riyadh. Hilal berhasil dirukyat dalam irtifa’ 4º 09’, umur bulan 12 jam 58 menit dan fraction 0,5%.

n. Mohammad Odeh dari ICOP/JAS Yordania pernah berhasil melihat hilal dalam ketinggian mendekati rekor dunia (umur bulan 12 jam 6 menit) di atas yang dikatakan sebagai rekor JAS selama ini, yakni dengan umur bulan 13 jam 36 menit, elongasi 8,2o irtifa

Perbedaan kriteria imkan itu disebabkan—paling tidak—oleh dua hal:

1. Perbedaan metodologi dalam imkanurrukyat. Sejumlah riset menggunakan alat bantu, seperti teleskop atau sensor pencitra digital, sementara yang lain menggunakan mata telanjang atau binokular. Riset lain hanya mengandalkan kesaksian yang dicocokkan dengan hasil hisab pada saat itu.

2. Perbedaan lokasi rukyat yang berakibat perbedaan kondisi lingkungan: berkabut, suhu, tekanan dan kelembapan udara dll.

D. AWAL BULAN QAMARIYYAH MENURUT MUHAMMADIYAH

Menurut Muhammadiyah bahwa awal bulan Qamariyah itu didasarkan pada pedoman hisab hakiki dengan prinsip wujudul hilal (wujud al-hilal), yaitu jika matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan baru, berapapun selisih waktunya atau berapapun tinggi hilal di atas ufuk. Prinsip ini sering disebut dengan ru'yah al-hilal bi al-'ilm (“melihat” hilal dengan ilmu pengetahuan atau metode hisab). Menurut Muhammadiyah, prinsip ini merupakan perpaduan antara wilayah normatif dan empiris atau disebut dengan "jalan tengah". Prinsip hisab hakiki dengan sistem wujudul hilal ini digagas oleh Kyai Kanjeng Penghulu Muhammad Wardan Diponingrat (1911-1991), mantan Pimpinan Pusat Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah, anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI (1973-1990) sejak tahun 1957. [26]

Secara terperinci, prinsip yang dipegangi Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:[27] Jika hilal tidak mungkin dirukyat karena masih di bawah ufuk maka Muhammadiyah mengambil langkah istikmal, sebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi jika hilal tidak mungkin dirukyat karena terttutup awan atau belum imkan, maka jalan keluarnya adalah hisab. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan:

ولا مانع بالحساب [28]

“Tidak ada yang menghalangi dengan hisab.”

Prinsip tersebut didasarkan pada hadis Nabi yang diriwiyatkan muttafaq ‘alaih (Imam al-Bukhari dan Muslim) dari Ibn ‘Umar, yaitu:

فإن غم عليكم فاقدروا له

“Maka apabila hilal itu tertutup awan, maka kadarkanlah.”

Kemudian kata “kadarkanlah” di-munasabah-kan kepada firman Allah SWT.:

هو الذي جعل الشمس ضياء و القمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين و الحساب [29]

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.”

Oleh karena itu, dalam penentuan awal bulan Qamariyah, Muhammadiyah berpegang pada hisab terlebih dahulu, sedangkan rukyat hanya sebagai penguat hasil hisab saja, sehingga jauh sebelumnya Muhammadiyah sudah dapat mengumumkan keputusannya kepada masyarakat. Alasannya adalah karena sistem hisab pada masa sekarang ini yang didukung disiplin astronomi kontemporer sudah teruji dan dapat dijamin akurasinya, sehingga tidak perlu pembuktian di lapangan.

Jadi Muhammadiyah mengartikan lafal ru’yah dalam hadis-hadis di atas bukan melihat secara langsung, tetapi cukup melalui hisab atau perhitungan rumus-rumus yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan atau ru’yah al-hilal bi al’ilm.

E. IKHTITAM

Demikian uraian singkat tentang prinsip penentuan awal bulan Qamariyah menurut NU dan Muhammadiyah yang nampak sekali berlawanan. Tetapi karena semua itu adalah teori yang dibangun manusia berdasarkan pemahaman (penafsiran) terhadap nas yang didukung ilmu pengetahuan, khususnya astronomi dan ilmu-ilmu pendukung lainnya serta berdasarkan pengakuan “pengalaman empiris” maka masih terbuka untuk diuji kebenarnnya, baik alat uji itu dengan menggunakan prinsip-prinsip istinbat dalam hukum Islam atau metode penafsiran terhadap nas ataupun dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang teori-teorinya terus berkembang dinamis.

Artinya kebenaran teori tersebut harus terus diteliti secara kritis. Sebagaimana dalam sejarah ilmu pengetahuan bahwa suatu teori dinyatakan benar saat ini belum tentu benar di esok hari, atau masa-masa yang akan datang, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Harapannya adalah jika teori-teori tersebut terus diteliti secara kritis, diuji validitasnya, dikembangkan secara komprehensip, suatu saat akan mencapai pada titik temu sehingga kebersamaan dan persatuan umat itu akan dibangun.

Kalau pendapat itu disebut sebagai hasil “ijtihad” umat Islam, maka dalam kerangka hukum Islam (usul al-fiqh), kebenaran itu pun masih sederajat dengan dalil zanni (prasangka), artinya umat masih memiliki kebebasan memilih sesaui dengan keyakinanya. Wa Allah A’lam bi as-Sawwab.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Karim.

Azhari, Susiknan, "Problematika Imkanur Rukyat sebagai Acuan Penyusunan Kalender Islam Nasional", dalam Muhammadiyah dan Reformasi, cet.1, Yogyakarta: Aditya Media, 2000.

------, Hisab dan Rukyat, Wacana untuk Membenagun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

------, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992, Juz I.

Hambali, Slamet, "Pembinaan Hisab Rukyat di Nahdlatul Ulama", makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Hisab Rukyat, Departemen Agama RI, tanggal 16-17 Nopember 2006 di Cisarua Bogor.

Jailani, Zubair al-, al-Khulasah al-Wafiyyah fi al-Falak, Kudus: Menara Kudus, t.t.

Jaziri, 'Abd ar-Rahman al-, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2004, Juz I.

Malasan, Hakim M., "UPT Observatorium Bosscha" dalam Adijana Wisni Ariasti dkk. (penyunting), Perjalanan Mengenal Asteronomi, Bandung: UPT Observatorium Bosscha ITB, 1995.

Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal dalam Penetapan Bulan Bari Penanggalan Qamariyah di Indonesia" dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, cet. 1, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

Muslim, Imam, Sahih Muslim Syarkh an-Nawawi, Ttp.: Al-Matba‘ah al-Misriyyah wa Maktabatuha, 1934, Juz I.

Raharto, Moedji, "Teknologi Optik sebagai Pembantu Penetapan Awal Bulan Hijriyah/Qamariyah", dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Rusyd, Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Ttp.: Syirkah an-Nur Asia, t.t. Juz I.

Shadiq, Sriyatin, "Sistem Hisab Menurut Sullam an-Nayyirain dalam Perspektif Sosiologik" dalam dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004.

Wardan, Muhammad, Hisab 'Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Penerbit Siaran, 1957.

Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. 3 Bairut: Dar al-Fikr, 1989, Juz II.



[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 2007.

[2] Salah satu akibat dari perubahan strutkur sitem peradilan tersebut adalah perubahan kebijakan pemerintah dalam pembinaan ilmu falak dari Peradilan Agama (PA) kepada Departemen Agama (Depag) RI. Ketika ilmu falak masih dibina langsung oleh PA langsung, terasa sekali eklusifitasnya sampai ada kesan seolah-olah otoritas ilmu falak itu hanya pada para hakim agama saja. Setelah pembinaannya diambilalih oleh Depag RI yang secara struktural di bawah Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syari’ah Depag RI, maka ilmu falak semakin populer di kalangan umat Islam karena banyak dilakukan pelatihan-pelatihan untuk umat Islam dan pejabat pemerintahan di lingkungan Depag, seperti kepala-kepala Kantor Urusan Agama (KUA), sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi DIY.

[3] Ilmu falak secara global dibagi menjadi dua bagian, yaitu Theoretical Astronomy (Ilmu Falak 'Ilmi) dan Practical Astronomy (Ilmu Falak 'Amali). Yang kedua inilah yang diamksud dengan Ilmu Hisab. Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, cet. 1 (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), hlm. 4.

[4]Seperti: Mohammad Ilyas dari Astronomy and Atmospheric Research Unit-University of Science Malaysia, Umm al-Qura Calendar Saudi Arabia, Mohammad SH. Odeh dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) Yordania, Jordanian Astronomical Society (JAS), Islamic Crescent’s Observation Project (ICOP) Saudi Arabia, the International Occultation Timing Association (IOTA), A. H. Sultan dari Physics Department-Sana’a University Yaman, South African Astronomical Observatory (SAAO), Royal Astronomical Society (RAS) NASA USA, Islamic Society of North America (ISNA), dll.

[5] Sebelum ditetapkannya UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Empat Lingkungan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditempatkan di bawah satu atap, yakni Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif tertinggi, kegiatan hisab-rukyat ini dikordinir langsung oleh Peradilan Agama (PA), baik dalam hal pembinaan maupun teknis-operasioanlnya, yakni ketika PA masih bi bawah pembinaan Depag RI. Pada waktu itu kegiatan hisab-rukyat kurang memasyarakat dan terkesan eklusif hanya didomoinasi oleha para hakim agama. Tetapi setelah Sistem Peradilan Satu Atap yang mana kegiatan hisab-rukyat ini dikordinasi langsung oleh Depag melalui kantor-kantor wilayahnya kegiatan hisab-rukyat semakin memasyarakat dan semakin banyak orang yang tertarik dan mempelajari ilmu hisab-rukyat ini. Dalam system yang baru ini PA hanya diberi wewenang untuk menjadi saksi di lapangan dan atau menyumpah orang yang melihat hilal.

[6]Observatorium Bosscha (Peneropongan Bintang Bosscha) Lembang Bandung, dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht, didirikan oleh Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging, yakni perkumpulan ahli bintang Hindia Belanda. Karel Albert Rudolf Bosscha (1861-1928) adalah sponsor utama dan bersama NISV memilih Lembang sebagai lokasinya. Bosscha bukanlah seorang ilmuwan tetapi seorang pengusaha perkebunan the di Malabar yang kaya raya dan cinta ilmu pengetahuan. Pembangunan Observatorium Bosscha ini dimulai pada tahun 1023-1928. Pada waktu itu merupakan salah satu dari 17 Observatorium di belahan bumi selatan dan satu-satunya yang berlokasi terdekat dengan Katulistiwa. Observatorium ini terletak pada 107º BT dan 6º 49' LS dengan ketinggian 1.310 m dari permukaan air laut. Lihat Hakim M. Malasan, "UPT Observatorium Bosscha" dalam Adijana Wisni Ariasti dkk. (penyunting), Perjalanan Mengenal Asteronomi, (Bandung: UPT Observatorium Bosscha ITB, 1995), hlm. 8-11.

[7] Sriyatin Shadiq, "Sistem Hisab Menurut Sullam an-Nayyirain dalam Perspektif Sosiologik" dalam dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004), hlm. 67.

[8] Karena memang secara syar’i, bahwa rukyatul hilal itu dilakukan pada setiap tanggal 29, meskipun secara hisab (perkiraan, perhitungan) masih di bawah ufuk ketika matahari terbenam.

[9] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989), II: 597-608.

[10] Q.S. Al-Baqarah (2): 165.

[11] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., II: 598.

[12] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438 dan; al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, I: 326-327. Hadis diriwiyatkan dari Abu Hurairah.

[13] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438. Hadis diriwiyatkan dari Ibn 'Umar.

[14] Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1773.

[15]Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh…, I: 462-466.

[16] Tim Penyusun, “Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama”, (Jakarta: Penerbit Lajnah Falakiyah PBNU, 2006), hlm. 14-15.

[17]‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12 (Kuwait: dar al-Qalam, 1398/1978), hlm. 161.

[18] Prinsip ini ditegaskan oleh Ibn Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj, sebagaimana dikutip Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal dalam Penetapan Bulan Bari Penanggalan Qamariyah di Indonesia" dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat…, hlm. 211.

[19] Diantaranya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, Malik, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim, ad-Dar Qutni, al-Baihaqi dll. Muhyiddin, "Penggunaan Rukyatul Hilal…", hlm. 209.

[20] Imam Muslim, Sahih Muslim Syarkh an-Nawawi, (Ttp.: Al-Matba‘ah al-Misriyyah wa Maktabatuha, 1934), I: 436-438 dan; Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), I: 326-327. Hadis diriwiyatkan dari Abu Hurairah.

[21] Muslim, Sahih Muslim…, I: 436-438. Hadis diriwiyatkan dari Ibn 'Umar.

[22] Tentang prinsip ru'yatul hilal bil fi'li atau istikmal ini berdasarkan SK PBNU No.: 311/A.II.03/I/1994, tertanggal 1 Sya'ban 1414 H/13 Januari 1994, tentang Dasar-dasar Penetapan Awal Bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Disamping itu juga merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang secara tegas mengahruskan ru'yatul hilal bil fi'li. Bahkan imam empat mazhab menegaskan bahwa ruyatul hilal itu hukumnya fardu kifayah. Lihat 'Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2004), I: 462-466.

[23] Disampaikan oleh K.H. Drs. Slamet Hambali, salah satu pengurus Lajnah Falakiyah (LF) PBNU, dalam Lokakarya Nasional Hisab Rukyat, Departemen Agama RI, tanggal 16-17 Nopember 2006 di Cisarua Bogor.

[24]Zubair al-Jailani, al-Khulasah al-Wafiyyah fi al-Falak, (Kudus: Menara Kudus, t.t.). hlm.

[25] Tetapi prinsip wujud al-hilal Persis ini berbeda dengan Muhammadiyah. Kalau wujud-nyaPersis mensyaratkan bahwa ketika matahari terbenam, hilal harus sudah positif di atas ufuk untuk seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan Muhammadiyah tidak harus sudah positif semua, yang terpenting sudah ada bagian wilayah yang positif, meskipun wilayah lainnya masih negatif di bawah ufuk. Oleh karena itu, meskipun kedua ormas tersebut mempunyai prinsip wujud al-hilal, tetapi sangat mungkin sekali berbeda dalam menetukan awal bulan Kamariyah, seperti pada penentuan awal bulan Syawal 1428 H.

[26]Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, (Yogyakarta: Penerbit Siaran, 1957), hlm. 43. Lihat juga Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 3-23

[27] Lihat Abdur Racim, “Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Muhammadiyah”, makalah disampaikan dalam Workshop Nasional “Metodologi Penetapan Awal Bulan Qomariah Model Muhammadiyah” Yogyakarta, 19-20 Oktober 2002, hlm. 4-7.

[28] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 191.

[29] Q.S. Yunus [10]: 25.



1 komentar: