Pages

Rabu, 16 November 2011

Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh


judul Buku                  :           Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh
Pengarang                   :           Kartini Nainggolan
Editor                          :           Dalilah dan Elis Widayati
Penerbit                       :           DIVA Press ( Anggota IKAPI), Yogyakarta
Cetakan                       :           Pertama, oktober 2008
Tebal                           :           370 halaman
Makhluk-makhluk bergerak karena cinta, yaitu cinta oleh keabadian tanpa permulaan. Sebagaimana angin menari-nari digerakan kuasa semesta. Karena itu iapun bisa menggerakan pepohonan (Diwan-i Syams-i Tabris, Mullah Jalaluddin Rumi).
Sejalankah apa yang ditulis Rumi dengan rasio manusia dewasa ini, ketika kita memiliki pandangan bahwa yang menggerakkan kehidupan adalah perekonomia atau uang? Dengan uang produksi berjalan kemudian menyerap tenaga kerja sehingga daya beli masyarakat meningkat dan mendorong produksi, begitu seterusnya. Tetapi tampaknya Rumi tidaklah terlalu absurd dengan pandangannya di atas. Setidaknya hal ini sedang dibuktikan oleh Kartini Nainggolan melalui novelnya “Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh”. Ketika uang bukanlah satu-satunya yang bisa disebut modal bagi manusia untuk seuatu yang sesuai fitrahnya yaitu akan bergerak dan terus bergerak atau dalam bahasa Al-Qur`an fantasyiru fi al-ard.
Cahaya cinta yang dibalut wangi kesabaran yang membaja mampu menerangi dengan seterang-terangnya titian tangga kerja keras, ikhtiar dan do`a. Dan tiada yang dihasilkan kecuali kehidupan yang manis direngkuh mesra oleh pelukan ridho Tuhan. Kartini Nainggolan berusaha mengajak kita untuk memasuki labirin dalam rongga kepala dan dada kita yang disitulah tempat kontemplasi kita detik demi detik dalam hidup, sehingga kita mau dan mampu merenung dan bermuhasabah terhadap semua nilai, ajaran dan kehidupan yang telah lama kita lupakan bahkan mungkin kita anggap usang. Kehidupan yang diajarkan oleh ibu-ibu kita, guru-guru ngaji kita, orang tua-orang tua yaitu pemecahan terhadap semua jenis masalah apapun namanya dengan dzikrullah, tetes air mata, do`a, munajat, kepasrahan total dan kesabaran yang terbingkai dalam suatu tarian sufistik yang bernama tahajud.
Kartini mencoba memasukan nilai-nilai tersebut baik secara eksplisit maupun implisit kepada kita melalui tokoh Nisa. Nisa dengan kehidupannya yang dikelilingi badai permasalahan, tebing kesulitan dan padang keputus asaan tetap bisa survive dengan keberanian luar biasa yang terpancar dari mata air tahajud dan terangkai dengan indah dengan cahaya subuh. Dengan masalah yang begitu kompleks dari ekonomi, keluarga, persahabatan, belajar dan karir sampai cinta yang tentu tak dapat dipisahkan dari adanya pengorbanan dan perjuangan yang begitu berat, baik itu dari materi maupun perasaaan bahkan keinginan yang begitu kuatpun harus ditanggalkan walau terasa berat dan teramat perih.
Model cerita novel ini sebenarnya masih mengandung tema sentral seperti novel-novel religi keluaran FLP lain seperti Ayat-Ayat Cintanya Habiburahman el-shirazy  ataupun Lelaki Kabut dan Boneka milik Helvi Tiana Rosa yaitu dakwah islam. Akan tetapi novel ini tetap mampu membawa desir angin yang berbeda. Dengan menggunakan  alur maju dan sudut pandang orang pertama menjelaskan bab demi bab kehidupan dari “aku” (Nisa).
Diawali dengan pilihan sulit dari tuntutan ayah dan ibu yang bertentangan yaitu antara kuliah dan bekerja. Tapi dengan rasa optimis yang dipompakan dari ayahnya, Nisa menguatkan dirinya untuk kuliah di Kota Gudeg Yogyakarta. Kota yang pada awalnya begitu ramah bagi Nisa dengan keberhasilannya memenangkan lomba penulisan novel ternyata mampu berputar balik menyeretnya memasuki suatu kehidupan yang oleh Kartini disebut “masa jahiliyah”. Ditengah-tengah kehidupan yang melalaikan Nisa itulah datang suatu hidayah yang begitu unik dan sangat berbeda dengan novel-novel lain sehingga mampu membawa Nisa hijrah ke jalan Ilahi. Kemudian separuh kedua dari cerita ini berisi kehidupan Nisa yang sarat akan penggambaran pribadi, watak, pemikiran dan kejiwaan Nisa yang dinaungi ridho Allah dalam perjuangan dakwahnya.
Jika Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dikatakan mampu memotivasi pembacanya yang dari segala generasi, maka sepertinya hal ini belum sepenuhnya di dapat oleh Sujud Nisa di Kaki Tahajud Subuh. Hal ini disebabkan, pertama, penggunaan bahasa yang masih dikatakan sederhana oleh penulis untuk menceritakan hal yang besar seperti waktu menceritakan Ais yang mengaku telah diperkosa. Kedua, pasar novel ini masih kurang membumi bahkan cenderung hanya untuk kalangan tertentu saja. Ketiga, adanya kesan yang kurang baik yang ditinggalkan kepada pembaca yaitu seputar penceritaan keluarnya Nisa dari MAPALA. Walau penulis sudah berulangkali menjelaskan argumennya tetapi agak kurang dimengerti maksud yang ingin disampaikan.
Diluar segala persoalan di atas, novel ini sesungguhnya memiliki potensi yang sangat bagus dalam membangun dunia sastra di tanah air. Jika penulis dapat menghindari hal-hal seperti di atas maka di harapkan mampu menghidangkan sajian yang mampu dimakan oleh semua lapisan masyarakat dan semua rasa dapat tersalurkan.
Akhirnya harus saya akui bahwa novel yang berangkat dari inspirasi yang kuat ini mampu menggugah, mencerahkan dan menyejukkan jiwa manusia ditengah keadaan yang gersang seperti sekarang ini. Oleh karena itu tunggu apalagi segera lengkapi perpustakaan anda. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar